Tuesday, September 9, 2014

My submission to SWA IFBL Competition

Not so exciting title, but I'm using every opportunities that I got to put some contents on this blog :)
Nevertheless, despite the rather boring title, the context and circumstances surrounding this post is rather interesting, as follows:

Couple of months back, with some idle time at hand (got a lot at that time), I came across the Feb or March 2014 edition of SWA, one of Indonesia's leading business publication. One of the annual events that SWA is organizing is the competition for Indonesia Future Business Leader (IFBL), which is a tall order in my opinion, especially looking at the past winners of the competition, which in general are all very serious, ambitious, high performing climber of corporate career ladder -- not a type that people that knows me well associated me into. However, since I've got some spare time at hand, I did spent some good hours thinking about the subject of my submission and which format will be the best to present the idea.

Being a lazy bum as I am, I practically copied the entire introduction paragraph from my dissertation, and wing it from there, based on my current understanding about the industry trends at that time. This is where things turn to become a bit interesting.

After submitting the paper to the good people at SWA, I've never heard back about the competition for some months. In fact, I've totally forgotten about the event and the paper, until today I received an email basically confirming the reception of the paper, and an invitation for me to present the ideas to a acclaimed panel that will judge the idea, which consists no less than some of the well known name in the business. Searching back on the folders (thanks God for Dropbox!), I found the article that become the subject of this post. Essentially, it can be renamed as "Donny's view on how the banking industry in Indonesia will evolve", but then again, 2 obvious problems from this title: 1) No one cared about what Donny's think anyway, and 2) Who the hell is Donny? :). But, Upon reading it, just realized one thing: Some of the things that I wrote to become an ideal combination of capabilities and resources to deliver my version of the "future", has materialized recently in my lives, which is never in my wildest dream back when I wrote this article came across to be possible. So, another reason to be thankful to the Almighty on his guidance and blessing! It has always been a strange turn of events for me, but for some reasons the puzzles started to show its grand design I guess.

Bankers, take note: if you are already doing some of these things, bless you and more power to you and your Banks. Otherwise, the time will tell I guess :)

Enjoy! (sorry again, this is all in Bahasa)



STRATEGI BERBASIS DISRUPSI: PENYEDIAAN LAYANAN KEUANGAN DIGITAL TERKONEKSI SOSIAL

Donny Prasetya[1]



Latar Belakang:

Dalam bukunya yang berjudul “Seizing the White Space”, penulis Mark W. Johnson mengemukakan bahwa siklus hidup dari organisasi bisnis di masa ini semakin bertambah pendek. Dengan menggunakan jangka waktu dimana perusahaan berada didalam index S&P 500 sebagai indikator, ditenggarai bahwa pada tahun 1958, rata-rata perusahaan menghabiskan waktu selama 57 tahun berada didalam list tersebut. Angka tersebut mengalami penurunan drastis dimana pada tahun 1983, angka tersebut turun menjadi 30 tahun, dan bahkan di tahun 2008, rata-rata periode perusahaan berada dalam index S&P 500 hanya tinggal selama 18 tahun. Hal ini menguatkan teori “kompetisi hiper” yang dikemukakan oleh D’Aveni, yang kemudian juga diimbuhkan oleh Rita McGrath dalam bahasannya akan “transient competitive advantage”.

Apakah menjadi sebab utama dari percepatan penurunan daya saing dari perusahaan-perusahaan masa kini? Berdasarkan pengamatan, penulis berkesimpulan bahwa kondisi persaingan yang sangat dinamis tersebut diakibatkan oleh beberapa tren utama yang mundul dalam beberapa decade terakhir, seperti munculnya tren teknologi mobilitas (mobile technology), termasuk didalamnya perangkat smart dan portable –seperti telpon pintar dan perangkat wearables, paradigma open platform (seperti layanan cloud), teknologi dan paradigma berbasis hubungan sosial, serta perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya yang berimbas pada meleburnya batasan-batasan “normal” antara industri, serta munculnya produk maupun layanan dengan matriks harga/kinerja yang baru (seperti layanan bersifat freemium), maupun dengan model bisnis yang benar-benar baru.

Dalam era globalisasi masa kini, maka perusahaan-perusahaan dalam negeri di Indonesia pun tidak kebal dari adanya tren-tren tersebut diatas, dan kita telah bersama-sama mengamati awal mula dari perubahan industri yang diakibatkan dinamika persaingan dunia us (aha kontemporer,  misalnya seperti munculnya kategori baru dalam industri media yaitu media berbasis digital yang sepenuhnya dihantarkan melalui perangkat pintar.

Industri perbankan, sebagai salah satu industri yang secara ketat diregulasi baik oleh BI dan OJK, tidak akan imun dari pengaruh-pengaruh tersebut. Untuk itu, penulis mencoba menggambarkan strategi transformasi yang dapat digunakan oleh industri perbankan pada umumnya, serta Bank komersial pada khususnya, dalam menghadapi era baru kompetisi didalam dunia baru yang saling terhubung, baik secara digital maupun secara sosial.

Peleburan Batasan Antar Industri Serta Potensi Bisnis Baru

Sebagai dampak langsung dari krisis ekonomi yang terjadi pada akhir 90an, industri perbankan di tanah air merupakan salah satu industri yang paling diregulasi. Disisi lain, terdapat paradox dimana industri perbankan di Indonesia merupakan salah satu pasar dengan margin keuntungan tertinggi di dunia. Hal ini mengakibatkan terjadinya kecendrungan bagi industri perbankan di tanah air, baik dari sudut pandang pemain industri maupun regulator, untuk lebih cenderung mengarah kepada konservatisme dididalam strategi bisnis yang ditempuh.

Akan tetapi, dengan semakin tingginya tingkat persaingan yang ada di tanah air, maka bank komersial, terutama yang melayani segmen ritel, belakangan mulai terdorong untuk melakukan inovasi, baik secara kanal layanan (misalnya melalui ekspansi jaringan ATM/EDC/Internet Banking/Mobile Banking), produk (emoney/cash card) maupun layanan nasabah (inovasi dari cabang). Namun satu yang patut dicatat adalah bentuk inovasi yang terjadi masih merupakan inovasi berbasis kapabilitas yang dimiliki (sustaining innovation), dan masih sangat jarang diamati adanya inovasi radikal model bisnis.

Selain kecendrungan inovasi yang masih dibatasi oleh faham konservatisme tersebut, industri perbankan juga cenderung mempunyai visibilitas terbatas dalam menganalisa tingkat persaingan, yaitu hanya mencangkup persaingan industri perbankan.  Mengacu pada diskusi awal dibagian latar belakang dari tulisan ini, maka pada masa mendatang, Bank akan mendapatkan persaingan baru yang bukan hanya dating dari industri perbankan.

Secara awal, hal ini telah teramati dari inisiatif strategis dari industri telekomunikasi untuk memfasilitasi transaksi pembayaran yang dibutuhkan oleh sebagaian besar masyarakat melalui layanan uang elektronik yang berbasis teknologi mobile. Selain itu, sudah lazim ditemukan layanan sejenis di masyarakat yang ditawarkan oleh institusi non bank, seperti layanan payment point yang dengan sangat mudah dapat ditemukan di lingkungan masyarakat, bahkan di daerah-daerah yang tidak terdapat cabang perbankan disekitarnya.

Timbulnya kecendrungan atas meleburkan batasan (blurring of boundaries) antara industri perbankan dan telekomunikasi ini mempunyai dampak jangka menengah yang dapat menyebabkan pihak perbankan kehilangan tingkat kompetisinya, tetapi juga membawa potensi bisnis yang luarbiasa bagi Bank yang menyadari hal tersebut dan mempunyai intensi serta kapabilitas untuk melakukan inovasi bisnis model, yang salah satunya akan dibahas oleh penulis, yaitu Layanan Perbankan Digital Berbasis Sosial.

Layanan Perbankan Digital Terkoneksi Sosial

Yang dimaksud dari Layanan Perbankan Digital Terkoneksi Sosial (Socially-Connected Digital Financial Service, atau selanjutkan akan disingkat sebagai “SCDFS”) adalah sebuah paradigma baru layanan perbankan yang berbasis layanan perbankan universal untuk semua, diakses melalui kanal digital, dengan antar-muka pengguna (user interface/UX) yang secara khusus didesain dengan menggunakan konsep “Human-Centered Design” / HCD.

Sebagai contoh kongkrit, pada saat ini sudah cukup lazim dikenal adanya layanan perbankan mobile yang dapat diakses melalui perangkat pintar. Perbedaan utama dari SCDFS adalah desain yang memungkinkan produk perbankan tersebut diakses bukan hanya oleh pengguna yang berasal dari segmen tradisional yang dilayani perbankan (“banked” segment), tetapi juga mencangkup seluruh lapisan masyarakat, termasuk didalamnya segmen “Unbanked” serta “Underbanked”. Disamping itu, layanan berbasis SCDFS harus memfasilitasi akses layanan bukan hanya menggunakan perangkat pintar, tetapi harus juga melalui semua kanal interaksi yang ada, seperti perangkat HP yang sangat sederhana, layanan melalui telpon, internet, serta layanan berbasis interaksi personal antar manusia, baik dilakukan didalam cabang maupun diluar cabang dengan menggunakan konsep agen perbankan.

Aspek ketiga dari layanan berbasis SCDFS adalah adanya antarmuka yang intuitif, mudah dimengerti, serta relevan bagi masyarakat. Untuk itu, maka UX untuk layanan SCDFS dirancang dengan menggunakan metodologi “Human Centered Design”, serta di hantarkan (delivery) dengan menggunakan paradigm kostumisasi masal (“mass costumization”).

Pada titik ini, penulis perlu mengingatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dari layanan SCDFS dari layanan perbankan pada umumnya yang dikenal saat ini. Layanan SCDFS dimaksudkan sebagai “life tools” dengan infrastruktur bank dibelakangnya sebagai fasilitator perpindahan “value”, baik “monetary value” yang secara tradisional dilakukan oleh bank, tetapi juga “social value” yang dapat berbentuk informasi, baik yang berasal dari bank maupun dari luar bank (seperti dari “social network”). Dengan proposisi nilai utama sebagai penyediaan “life tools” dan bukan “transaction tools”, maka SCDFS merupakan kategori dari pelayanan perbankan yang akan mendisrupsi industri perbankan secara umum.

Model Bisnis dan Kapabilitas Pendukung Implementasi SCDFS

Diluar aspek “customer facing UX” yang telah digambarkan sebelumnya, layanan SCDFS harus dirancang secara komprehensif dengan bisnis model dan kapabilitas yang baru, sehingga layanan tersebut dapat tersedia secara universal, terjangkau, serta relevan. Berikut adalah komponen-komponen yang dibutuhkan untuk implementasi SCDFS:

1.     Model Bisnis Baru
Implementasi SCDFS membutuhkan terobosan model bisnis perbankan, termasuk didalamnya struktur organisasi, aspek manajemen resiko, kepatuhan, sumber daya, serta konsep kemitraan antara Bank dengan pihak-pihak ketiga lainnya.

Untuk dapat mendesain struktur bisnis baru yang dapat memaksimal nilai (value capture) dari paradigm SCDFS, maka dibutuhkan suatu organisasi baru yang inovatif, agile, kreatif, serta dapat bergerak secara cepat. Disampingi itu, implementasi model bisnis membutuhkan adanya orientasi strategis yang tepat dari inisiator SCDFS, sehingga kebutuhan akan sumberdaya, baik finansial maupun non finansial dapat terpenuhi dengan layak.

2.     Kapabilitas Teknologi
Sebagai layanan berbasis digital, adanya kapabilitas pengembangan teknologi yang mumpuni merupakan kebutuhan dasar dari organisasi. Akan tetapi, mengingat paradigm baru yang dibutuhkan dalam konsep SCDFS, maka teknokrat yang dibutuhkan didalam pengembangan konsep harus mempunyai visi yang luas dengan kemampuan penalaran yang baik atas emerging tren yang terjadi.

Sebagai salah satu contohnya, penerapan SCDFS membutuhkan teknologi berbasis “open platform”, mengingat perlunya kerjasama berbasis “coopetition” dengan pihak luar, seperti perusahaan telekomunikasi, payment gateway, switching, bahkan juga dengan penyedia layanan media sosial melalui penggunaan “Managed Application Programming Interface/Managed API”, suatu konsep yang bagi banyak pelaku industri perbankan merupakan suatu hal yang tabu untuk di implementasikan.

Disamping “open platform”, implementasi SCDFS juga membutuhkan penerapan teknologi yang tepat untuk dapat menerapkan konsep Mass Customization yang berdasarkan atas pengambilan keputusan yang berdasarkan Predictive Analytics untuk dapat mengelola portofolio nasabah yang berjumlah ratusan juta dengan ratusan milyar transaksi yang berpotensi dapat terjadi dari layanan ini.

3.     Kapabilitas Inovasi
Selain inovasi model bisnis yang didukung oleh kapabilitas teknologi yang mumpuni, maka penyedia layanan SCDFS membutuhkan kapabilitas inovasi yang baik, yang memungkinkan organisasi untuk dapat melihat kesempatan bisnis melalui sisi yang berbeda, serta untuk bergerak cepat dalam memanfaatkan kesempatan tersebut.

4.     Kapabilitas Pengetahuan
Penerapan konsep SCDFS membutuhkan juga paradigma yang baru dalam desain struktur organisasi. Mengingat basis dari bisnis SCDFS adalah berbasis digital, maka organisasi yang akan melakukan implementasi akan membutuhkan pengembangan new skills dan knowledge diluar domain perbankan tradisional, seperti sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan mengenai implementasi predictive analytics, machine learning, digital transactions, serta Social Network Analysis (SNA).

Disamping pengetahuan berbasis teknologi diatas, Bank yang menawarkan SCDFS juga membutuhkan pengetahuan baru dalam pengelolaan operasional, seperti untuk pengelolaan Agen Banking, yang nota bene merupakan sesuatu hal yang belum pernah ada sebelumnya.

5.     Kepabilitas Pendukung
Mengingat pada dasarnya SCDFS merupakan layanan perbankan digital, maka adanya skillset dasar yang dibutuhkan oleh perbankan, seperti manajemen resiko, pengelolaan float, dan sebagainya, tetap merupakan aspek-aspek penting yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Yang menjadi pembeda adalah adanya budaya baru berbasis paradigm utama SCDFS, yaitu “universally accessible and relevant financial services” yang menajadi pendorong pengembangan kapabilitas-kapabilitas pendukung tersebut.

Potensi Layanan SCDFS di Indonesia

Layanan digital telah menjadi suatu hal yang lazim dan telah menjadi standar hidup bagi kebanyakan orang Indonesia. Laporan IFC di 2010 menggambarkan bahwa terdapat 165 juta orang di Indonesia yang mempunyai akses kepada layanan selular. Jumlah pengguna Internet juga mengalami kenaikan yang cukup menggembirakan sejalan dengan dorongan pemerintah untuk menyediakan akses layanan internet hingga ke desa-desa. Secara anekdot, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan jumlah pelanggan Blackberry, Facebook, Path, dan berbagai layanan sosial-digital lainnya, yang termasuk terbanyak di dunia. Dengan kata lain, embrio dari layanan digital terkoneksi sosial di Indonesia telah cukup lama terbentuk dan terus meningkat.

Akan tetapi, laporan IFC di 2010 tersebut juga menggambarkan aspek lain dari masyarakat Indonesia: Dari 240 juta rakyat Indonesia, hanya terdapat sekitar 60 juta orang yang mempunyai akses terhadap layanan perbankan. Apakah layanan perbankan bukan merupakan sesuatu hal yang vital sehingga terdapat lebih dari 100 juta orang Indonesia yang mempunyai akses terhadap layanan selular tapi tidak mempunyai rekening bank? Dari pengalaman penulis berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan di Indonesia, layanan “perbankan” (dalam hal ini simpan dan pinjam), telah mengakar didalam masyarakat Indonesia, walau secara informal.

Kita semua mahfum bahwa sebagian besar orang Indonesia mempunyai kebiasaan untuk menabung secara informal, baik melalui grup (seperti koperasi, arisan), asset building (hewan ternak), maupun cara-cara alternative lainnya (seperti emas). Disamping itu, kebutuhan akan pembayaran tagihan terdapat servis dasar seperti pembelian pulsa, pembayaran PLN dan lain lain juga telah memunculkan potensi bisnis yang luar biasa besar dalam bentuk payment point / penjual pulsa yang lazim kita temukan dimana-mana. Hal-hal ini merupakan bentuk-bentuk informal dari layanan finansial yang masih belum dapat difasilitasi oleh industri perbankan pada saat ini, sehingga ditenggarai terdapat 100 juta lebih masyarakat Indonesia yang dikategorikan sebagai “unbanked’ Perlu dicatat bahwa definisi “unbanked” disini tidak sama dengan tidak mempunyai uang.

Sebagai contoh, di Indonesia diperkirakan terdapat 600 ribu orang petani coklat yang tersebar dari Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Indonesia Bagian Timur lainnya. Dengan rata-rata kepemilikan per orang sekitar 1.5 ha, dan dengan rata-rata harga komoditas kakao sebesar 25 ribu rupiah / kilo kering, maka setiap petani kakao di Indonesia mempunyai potensi penghasilan hampir mencapai 100 juta rupiah pertahun, suatu jumlah yang jauh diatas rata-rata GDP per kapita Indonesia. Disisi lain, keterbatasan sistim perbankan yang berbasis cabang menyebabkan adanya ketimpangan penyediaan layanan perbankan yang belum mampu menjangkau para petani tersebut.

Diluar rantai nilai terkait coklat tersebut, Indonesia juga mempunyai banyak rantai nilai komiditas unggulan yang bernilai tinggi lainnya, seperti rumput laut, kopi, kelapa sawit, pertambangan dan lain-lain yang umumnya belum terjangkau layanan perbankan konvensional.

Dari sisi sosio-demografi masyarakat sendiri, didalam laporannya McKinsey (2013) memprediksi akan terdapat 70 juta orang Indonesia yang akan menjadi kelas menegah baru di tahun 2020. Adanya kelas menengah baru dengan jumlah lebih besar dari seluruh populasi Vietnam ini akan secara langsung membuka kesempatan-kesempatan baru bagi penyedia layanan perbankan di tanah air.
Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa baik secara socio-demographi, tren teknologi, serta peta persaingan industri perbankan pada saat ini yang terkonsentrasi dalam penyediaan produk-produk perbankan yang bersifat komoditas, maka terdapat prospek yang sangat baik bagi pengembangan SCDFS di Indonesia. Akan tetapi, tentunya pertanyaan terbesar – dan logis— berikutnya adalah: bagaimana peta strategi implementasi layanan SCDFS kedepannya.

Implementasi SCDFS

Sebagaimana dibahas oleh banyak akademisi dan ahli manajemen, inovasi mencangkup dua hal: Ide, yang bagi banyak orang dan organisasi merupakan hal yang mudah, serta Implementasi, yang jauh lebih sulit dari menciptakan daftar ide-ide canggih yang dapat diterapkan di organisasi. Penulis akan menambahkan aspek ketiga yang menghubungkan antara Ide dan Implementasi, yaitu Strategi.

Penulis juga menyadari bahwa bagian awal dari tulisan ini mempunyai banyak konsep-konsep baru yang sepertinya jauh untuk diterapkan bagi kondisi di Indonesia. Akan tetapi, penulis akan berargumen bahwa di era globalisasi saat ini, dimana seluruh pasar di dunia saling terhubung, terlebih lagi dengan implementasi MEA 2015, maka industri perbankan di Indonesia harus dapat menerapkan konsep-konsep baru untuk tidak kehilangan tingkat daya saing yang dimilikinya. Hal ini perlu dilakukan dengan menyadari bahwa tidak semua organisasi mau, dan mampu, untuk melakukan implementasi inovasi, terutama yang bersifat radikal dan disruptif seperti SCDFS. Akan tetapi tugas penulis disini adalah untuk meyakinkan pembaca akan feasibility dari ide SCDFS tersebut.

Implementasi Fase 1: Universal Access to Finance

1.     Regulasi Digital Banking
Regulasi Bank Indonesia yang mengatur jasa layanan perbankan berbasis digital dapat dikategorikan menjadi 2 kategori besar, yaitu layanan perbankan elektronik (ebanking) serta layanan uang elektronik (emoney). Sebagaimana kita lihat, pada saat ini telah sangat lazim bagi bank-bank komersial yang bergerak di segmen retail untuk menawarkan produk-produk yang dikembangkan dengan berbasis digital, seperti Kartu Kredit, Kartu Debit, ATM, POS, Tap Card, dan lain lain. Selain itu banyak juga ditemui inovasi atas kanal-kanal layanan yang berbentuk internet banking, mobile banking, sms banking dan sejenisnya.

2.     Regulasi Branchless Banking
Secara formal, Branchless Banking didefinisikan sebagai layanan digital melalui jaringan telpon, dengan menggunakan Agen Banking sebagai perantara bank dalam melayani nasabah. Pada saat tulisan ini dibuat, baik BI dan OJK sedang memfinalisasi regulasi yang mengatur penggunaan dan pengelolaan Agen Banking oleh perbankan dalam rangka mendukung inisiatif Inklusi Finansial yang digadang-gadang oleh permerintah.

Secara umum, layanan digital yang tersedia saat ini merupakan basis awal dari pengembangan SCDFS. Akan tetapi, adanya regulasi yang memperbolehkan penggunaan agen perbankan untuk melakukan pembukaan rekening di lapangan, serta melayani transaksi tarik tunai dan setor tunai, atas produk dasar yang berbentuk rekening, akan menjadi momen awal perubahan industri perbankan secara fundamental.

Hal ini penulis yakini atas dasar pengamatan yang seksama atas impelementasi layanan sejenis di beberapa negara lain. Dengan adanya layanan berbasis teknoklogi tersebut, maka produk perbankan dapat menjadi suatu layanan yang bersifat universal dan tersedia dimana-mana, hampir mirip dengan layanan telepon selular yang sangat jamak ditemui digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Keberhasilan dari Fase 1 adalah apabila layanan perbankan dapat diterima dan diadopsi oleh sebagain besar masyakat yang sebelumnya tidak terlayani oleh layanan perbankan secara formal.

Fase 2: Pengembangan Ekosistem dan Kapabilitas Portofolio

Sejalan dengan pelaksanaan fase 1, maka perlu juga ditingkatkan kegunaan dari produk dasar yang ditawarkan ke masyarakat. Hal ini sejalan dengan teori Inovasi Disrupsi yang dikemukakan oleh Prof. Clayton Christensen dalam bukunya “Innovator’s Dillema”, dimana produk yang awalnya diterima oleh segmen yang sebelumnya tidak terlayani (karena “underperform” produk lain yang sudah ada), akan mulai diterima oleh segmen “mainstream”.

Pengembangan fitur atas produk dasar tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan penggunaan produk / layanan bagi segmen-segmen tertentu, yang dilakukan dengan menganut paradigma “Human Centered Design”. Dengan penggunaan paradigma HCD tersebut, diharapkan antarmuka yang didesain beserta fitur-fitur yang diperkenalkan akan menjadi relevan bagi pengguna dan calon pengguna.

Disamping itu, organisasi pengimplementasi juga perlu memperkuat kapabilitas-kapabilitas lainnya yang diistilahkan oleh penulis sebagai “Kapabilitas Portofolio”, seperti kapabilitas pengambilan keputusan berdasarkan Predictive Analytics yang didasari pengetahuan atas transaksi yang terjadi secara real-time.

Fase 3: Repositioning layanan sebagai Life Tools

Dengan melakukan upaya-upaya strategis untuk meningkatkan tingkat penggunaan dari layanan, maka Bank dapat mulai memfokuskan upayanya untuk meningkatkan “stickiness” dari layanan, yaitu dengan melakukan reposisi dari layanan transaksi menjadi “life tools”.  Diharapkan dari reposisi tersebut, makan layanan yang ditawarkan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseharian pengguna, dimana Bank harus dapat secara aktif melakukan tinjauan atas kesempatan-kesempatan bisnis yang mungkin timbul layanan tersebut.

Di fase ini akan sangat diperlukan adanya kapabilitas inovasi yang mumpuni dan didesain secara seksama untuk dapat memaksimalkan potensi bisnis yang ditampilkan bukan saja oleh model bisnis yang baru, tapi juga dari interaksi yang baru antara penyedia layanan dengan pengguna layanan.

Kesimpulan

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menjabarkan konsep SCDFS secara gamblang beserta implikasi strategis bagi bisnis perbankan kedepannya. Beberapa hal yang menjadi bahasan utama antara lain adalah 1) Perlunya industri perbankan untuk menyadari perubahan tren yang terjadi pada saat ini akan melebur batasan-batasan industri tradisional, 2) Adanya potensi yang sangat besar dari pengembangan model bisnis SCDFS, 3) Tantangan khusus untuk implementasi model bisnis SCDFS yang membutuhkan knowledge base yang benar-benar baru, 4) Urutan fase implementasi yang dapat ditempuh oleh Bank untuk dapat merealisasikan potensi dari konsep SCDFS.

Akhir kata, penulis mengharapkan pembahasan singkat atas konsep SCDFS dapat membantu pembaca untuk menyatukan bagian-bagian terpisah dari puzzle industri perbankan di masa depan yang penulis yakini akan dapat terealisasi dalam decade ini. Atas dasar pembahasan tersebut, penulis berencana untuk dapat menjadi pelopor dari implementasi konsep SCDFS, mengingat implikasi strategis dari hal tersebut yang berdampak signifikan bukan hanya bagi organisasi penulis pada saat ini, tetapi juga bagi Industri Perbankan di tanah air.

Referensi Terpilih

Christensen, C. (1997). The Innovator’s Dilemma: When New Technologies Cause Great Firms to Fail. Harvard Business School Press

IFC Indonesia, (2010). Mobile Banking in Indonesia: Assessing the market potential for mobile technology to extend banking to the unbanked and unbanked”, International Finance Corporation

Johnson, M. W. (2010). Seizing the white space: Business model innovation for growth and renewal. Harvard Business Press

McGrath, R. G. (2013). Transient advantage. Harvard Business Review, 91(6), pp. 62-70.
McKinsey Global Institute (2012). The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential

Roserngard, J. K. (2011). If The Banks Are Doing So Well, Why Can’t I Get A Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in Indonesia. Harvard Kennedy School

The World Bank (2010). Improving Access to Financial Services in Indonesia, The World Bank





[1] Penulis adalah Praktisi dan Pengamat Industri Perbankan, dengan kekhususan pada layanan perbankan berbasis digital untuk masyarakat berpenghasilan rendah.