Friday, August 29, 2014

The case of excluding 7 millions of urban poor: my feedback to OJK today

The Otoritas Jasa Keuangan (OJK), the regulatory body of Indonesia banking Industry has been asking for public feedback to a draft regulation on the agent banking / branchless banking dubbed "Laku Pandai" or Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif / Branchless Financial Services for Financial Inclusion. And of course, I wouldn't missed it for the world :)

I had also just realized I haven't had the chance to actually write anything in the space for sometime time, so it is time to get the writing engine sputtering again. This blog is just another venue for that purpose.

Anyway, the following text is what I've submitted to OJK, hopefully the nice ladies at OJK will take this into consideration, otherwise I've wasted several all-nighters this week trying to write a meaningful inputs for the draft regulation. But then again, this has been a good practice to warm up for a more serious dissertation work that I had sadly neglected also for some time now. The input is in Bahasa Indonesia however, but that's where google translate might come in handy I guess.

And before I forgot, just want to let you know that I've moved to another organization as of early August, so I am not longer a Branchless Banker in a Bottom of Pyramid sense, but I am still on the space, doing Digital Banking for a bit more upscale small-end of SME segment, which in a way is still a financial inclusion / development work I guess.

Anyway, enjoy! hope this short write up is informative enough:



TANGGAPAN ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF (LAKU PANDAI)

Donny Prasetya [1]


1.  Latar Belakang


Sejalan dengan pertimbangan OJK pada Rancangan Peraturan (RPOJK) akan banyaknya penduduk di Indonesia yang memperoleh akses terhadap jasa keuangan formal yang disebabkan oleh hambatan geografi maupun kemiskinan (hal. 1), yang juga didukung oleh data empiris didalam hasil studi yang dilakukan oleh International Finance Corporation pada tahun 2009[2], adanya layanan keuangan tanpa kantor atau juga merupakan suatu kebutuhan mutlak dari masyarakat yang belum mempunyai akses (segmen unbanked maupun underbanked) serta menjadi bagian utama dari pembangunan infrastruktur finansial dalam rangka pengembangan sistim keuangan inklusif di Indonesia.

Akan tetapi, walaupun telah didukung oleh kebutuhan atas layanan yang telah jelas teridentifikasi tersebut, penerapan layanan perbankan tanpa cabang membutuhkan suatu upaya yang terkoordinasi dengan baik untuk meyakinkan terbentuknya faktor-faktor pendorong pengambangan layanan tersebut di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pengalaman atas penerapan layanan perbankan tanpa cabang di beberapa negara didunia memperlihatkan bahwa penerapan model layanan perbankan tanpa cabang membutuhkan beberapa kondisi-kondisi tertentu, diantaranya kondisi sosial masyarakat tertentu (Ngugi, Pelowsky, Ogembo, 2010; Morawzynski, 2010), Infrastruktur layanan keuangan yang ada (Morawczyski & Picken, 2009), adanya insentif yang tepat bagi penyedia layanan (yang dalam banyak kasus merupakan sektor perbankan swasta) untuk menyediakan layanan tersebut berdasarkan model bisnis yang berkesinambungan (market incentive through provisioning of sustainable business model) (Dermish, Kneiding, Leishman, 2012), serta adanya Regulasi yang mendukung pengembangan layanan (Pickens, Porteous & Rothman, 2009).

Sehubungan dengan adanya kebutuhan atas regulasi untuk mendorong pengembangan layanan perbankan tanpa cabang yang diidentifikasi dalam studi-studi diatas, pertanyaan dasar tentunya adalah bagaimana / apakah bentuk rancangan regulasi yang tepat bagi untuk mendorong layanan perbankan tanpa cabang? Dermish, Kneiding & Leishman (2012, pp. 21) berpendapat bahwa  “sistim dan prinsip supervisi yang tepat [untuk layanan perbankan tanpa cabang] masih dalam tahapan yang belum tetap, mengingat terbatasnya pengalaman dari regulator yang disebabkan keterbatasan layanan perbankan tanpa cabang dengan skala yang besar”. Disamping itu, hingga diturunkannya tulisan mereka tersebut pada tahun 2012, belum pernah terjadi kegagalan dari sistim layanan perbankan tanpa cabang secara masif yang disebabkan tidak terselenggaranya kegiatan layanan yang menimbulkan resiko operasional maupun kekacauan aspek fiskal dari layanan. Lebih lanjut lagi, Dermish, Kneiding & Leishman (2012) juga menyimpulkan bahwa kecenderungan untuk memperkenalkan regulasi yang mengatur segala aspek yang berhubungan dengan layanan (over-regulating regulation) dapat berpotensi negatif terhadap perkembangan tersebut, dimana belum terdapat bukti empiris yang cukup secara global atas dampak layanan perbankan tanpa cabang terhadap resiko-resiko yang secara spesifik tercangkup didalam banyak regulasi yang telah diperkenalkan, dan dilain pihak menciptakan dis-insentif bagi penyedia layanan untuk memperkenalkan layanan tersebut bagi segmen yang disasar secara khusus dari maksud regulasi yang diperkenalkan.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan gambaran dan masukan yang berdasarkan kajian literature atas faktor-faktor sukses serta studi kasus yang telah terbukti berhasil mendorong penerapan layanan tanpa cabang di beberapa negara di dunia. Penulis berharap bahwa tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan yang dapat digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam merancang dan memperkenalkan layanan perbankan tanpa cabang (yang juga dikenal dengan istilah “LAKU PANDAI”) secara tepat sasaran dalam konteks mendorong pengembangan elemen-elemen pendukung program keuangan inklusif nasional.

2.  Aspek Ekonomis Layanan LAKU PANDAI dan hubungannya dengan Agent Transaction Pricing

Sebagaimana dijabarkan sebelumnya, adanya insentif yang tepat bagi penyedia layanan merupakan salah satu faktor pendorong utama tersedianya layanan perbankan tanpa cabang yang tepat sasaran (yaitu yang digunakan oleh segmen yang disasar). Untuk itu, perlu diyakinkan bahwa regulasi yang mengatur layanan juga mempertimbangkan aspek ekonomis layanan bagi penyedia jasa, serta pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung dengan layanan seperti jaringan keagenan layanan.

Secara khusus, penulis ingin memberikan masukan atas rancangan RPOJK LAKU PANDAI Pasal 3, Ayat (2), Huruf j. yang berbunyi “Penarikan tunai dan/atau transfer keluar ke rekening lain pada Bank yang sama yang dilakukan nasabah BSA di Agen LAKU PANDAI dapat dikenakan biaya setelah 4 empat) transaksi dalam 1 (satu) bulan yang sama”, melalui studi kasus atas model layanan MPesa yang menjadi acuan dasar dari banyak layanan perbankan tanpa cabang di dunia yang dilakukan oleh Ignacio Mas & Amolo Ng’weno (2009) sebagai berikut:

Strategy penerapan harga (pricing strategy) dari produk M-PESA terindentifikasi sebagai salah satu dari tiga faktor kunci[3] yang mendorong keberhasilan adopsi produk financial tanpa cabang pada awal diperkenalkannya layanan. Secara khusus, layanan M-PESA dirancang untuk mendorong pengguna melakukan setoran kedalam rekening, untuk kemudian memungkinkan pengguna untuk melakukan layanan pengiriman uang Person to Person (P2P) dengan menggunakan nomer HP pengirim dan penerima sebagai nomer rekening / tanda identifikasi dari pengguna.  Satu catatan penting yang perlu diingat bahwa use case utama di Kenya adalah untuk transaksi P2P/remitensi dari daerah perkotaan ke daerah non-perkotaan, sehingga  strategi  penerapan harga dari produk MPESA dirancang untuk memaksimalkan transaksi tersebut.

Dalam prakteknya, Safaricom sebagai penyedia jasa layanan MPESA mendesain strategi penerapan harga dari MPESA untuk memberikan revenue stream yang cukup bagi agen yang memberikan layanan tarik dan setor tunai kepada nasabah, yang dituangkan dalam prinsip pertama strategi harga dari layanan perbankan tanpa cabang yaitu: desain dari strategi harga harus mempertimbangkan insentif bagi agen, yang merupakan pihak ketiga dan tidak menerima kompensasi lain selain komisi transaksi, dimana penyedia layanan harus meyakinkan bahwa agen mendapatkan insentif yang cukup untuk menjaga tingkat layanan disepakati dapat berjalan dengan sendirinya.

Ilustrasi berikut memperjelas prinsip pertama tersebut dalam operasional M-PESA (disunting dari Mas & Ng’weno, 2009)

Ilustrasi 1: Skema Transaksi Layanan MPESA

JENIS TRANSAKSI
BIAYA YANG DIBAYAR NASABAH
KOMISI YANG DITERIMA AGEN
BIAYA YANG (DIBAYAR)  / DITERIMA SAFARICOM
Setor Tunai (jumlah antara USD 1.33 – USD 467)
Gratis
0.133 USD
(0.133) USD
Penarikan Tunai (jumlah antara USD 1.33 – USD 33)
(0.333) USD
0.2 USD
0.333 USD
Transaksi “Bolak-balik” (Satu kali penyetoran dan satu kali penarikan)
(0.333) USD
0.333 USD
0

Dari ilustrasi 1, teramati hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak adanya biaya yang dikenakan bagi nasabah yang melakukan penyetoran (untuk mendorong perilaku konversi uang tunai menjadi uang dalam rekening)
2. Safaricom membayar agen untuk SELURUH transaksi, baik tarik maupun setor tunai.
3. Pengenaan biaya bagi transaksi Penarikan Dana (untuk jumlah penarikan sebesar KSH 2.500 / USD 33 biaya yang dikenakan sekitar 1% dari jumlah, yaitu 0.33 Dollar), dimana biaya tersebut dibagi dua bagi agen (untuk memberikan komisi atas layanan penarikan dana nasabah) serta bagi Safaricom (untuk meng-kompensasi komisi agen untuk penyetoran dana tunai nasabah yang telah dibayarkan oleh Safaricom “dimuka” [4])
4. Untuk transaksi “bolak-balik” (yaitu satu set transaksi dimana nasabah melakukan penyetoran, dan kemudian dilakukan penarikan, baik oleh nasabah maupun oleh sisi lain setelah nasabah melakukan transaksi pengiriman uang P2P), Safaricom tidak mendapatkan sama sekali komisi dari transaksi, jaringan keagenan menerima komisi untuk setiap transaksi, dan nasabah penarik dana membayarkan komisi kepada Ssafaricom yang di distribusikan balik kepada jaringan keagenan. Dalam kasus ini, Safaricom mengharapkan memperoleh pendapatan dari komisi P2P dimana transaksi jenis inilah yang menjadi use case utama layanan finansial tanpa cabang di Kenya.

Berdasarkan pelaksanaan uji coba layanan Branchless Banking yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada tahun 2013 silam, terlihat bahwa use case utama untuk layanan perbankan tanpa cabang di Indonesia adalah sebagai sarana penyimpanan dana, yang merupakan salah satu hal unik (use case utama dari banyak layanan serupa di dunia adalah sebagai sarana pengiriman uang P2P). Dilain pihak, mengingat best practice dari strategi harga layanan berdasarkan tiga prinsip utama: (1) Tidak ada biaya yang dikenakan untuk transaksi setoran nasabah, (2) Jaringan agen harus mendapatkan komisi untuk setiap jenis transaksi, dan (3) Komisi transaksi bukan merupakan fee-based bagi penyedia layanan mengingat seluruh/sebagian besar komisi yang dikenakan kepada nasabah sebaiknya dikembalikan kepada jaringan untuk memerikan insentif layanan yang baik dan berkesinambungan, maka adanya ketentuan yang mengharuskan adanya suatu subsidi bagi penyetoran berpotensi menimbulkan dilema bagi penyedia layanan yang menerapkan strategi harga dengan mengacu kepada best practice dalam ilustrasi diatas.

Sebagai contoh, dengan menggunakan metodologi yang sama seperti ilustrasi 1, terlihat proyeksi alur transaksi dan pemberian komisi dari satu nasabah LAKU PANDAI di Indonesia untuk use-case penggunaan rekening sebagai rekening tabungan adalah sebagai berikut:

Ilustrasi 2: Transaksi & Komisi Layanan LAKU PANDAI (use case menabung)

JENIS TRANSAKSI
HARI TRANSAKSI
JUMLAH TRANSAKSI
BIAYA YANG DIBAYAR NASABAH
KOMISI YANG DITERIMA AGEN (2%)
BIAYA YANG (DIBAYAR)  / DITERIMA BANK
SETOR #1
Senin
Rp. 50,000
Gratis
Rp. 1.000
Rp. (1.000)
SETOR #2
Selasa
Rp. 30,000
Gratis
Rp. 600
Rp. (600)
TARIK #3
Rabu
Rp. 50,000
Gratis
(Seharusnya dikenakan biaya 2x2%x50,000 = 2.000)
Rp. 1.000
Rp. (1.000)
SETOR #4
Kamis
Rp. 20,000
Gratis
Rp. 400
Rp. (400)
TARIK #5
Jumat
Rp. 50,000
Rp. 2.000
Rp. 1.000
Rp. 1.000
SETOR #6
Sabtu
Rp. 20,000
Gratis
Rp. 400
Rp. (400)
TOTAL


Rp. 2.000
Rp. 4.400
Rp. (2.400)

Dari contoh diatas terlihat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian:
1) Adanya use case menabung di masyarakat Indonesia pada prinsip nya menjadikan insentif penyedia layanan non-bank menjadi lebih kecil dibandingkan dengan insentif yang ada di negara lain dengan use case utama pengiriman uang. Keterbatasan daerah uji coba yang dimungkinkan pada saat uji coba Branchless Banking 2013 yang silam tidak memungkinkan adanya pengumpulan data empiris atas kebutuhan P2P di Indonesia.
2)  Dengan adanya use case menabung tersebut, penyedia layanan memiliki resiko dimana skema pricing yang diterapkan dapat berimplikasi negatif terhadap model finansial dari layanan (dimana use case menabung meminimalkan terjadinya transaksi bolak-balik 1 kali setor 1 kali tarik, dimana penyedia layanan memperoleh revenue dari P2P yang terjadi diantara dua transaksi tarik setor tersebut).
3)  Bagi penyedia layanan berbentuk Bank, sebagian resiko tersebut dapat dimitigasi dengan penawaran layanan lain terhadap nasabah seperti pembayaran tagihan, pembelian pulsa dan lain-lain. Akan tetapi, mengingat lazimnya layanan perbankan tidak mengenakan biaya tinggi untuk transaksi P2P (contoh transfer via ATM antar bank dengan biaya IDR 5.000 yang keseluruhan merupakan komisi switching), kesempatan untuk bank memposisikan layanan sebagai fee-based dengan dasar komisi P2P menjadi sangat minim.
4) Dari ilustrasi diatas terlihat jelas bahwa dengan rata-rata nominal transaksi yang relatif kecil, serta dengan mengikuti prinsip bahwa setiap transaksi di agen harus menghasilkan komisi bagi agen, maka adanya keharusan memberikan subsidi atas transaksi berpotensi tinggi memberikan dis-insentif bagi penyedia layanan untuk menyediakan layanan yang didesain untuk segmen yang belum terlayani layanan perbankan (Unbanked dan Underbanked). Dalam contoh diatas, dari seminggu transaksi yang dilakukan nasabah, Bank mengeluarkan biaya sebesar Rp. 2.400 / nasabah / minggu, yang mengharuskan bank untuk mengenakan tarif layanan bulanan atau menaikkan biaya transaksi lainnya.

Perlu diingat bahwa satu satu keunggulan layanan perbankan tanpa cabang adalah membawa layanan perbankan untuk lebih dekat dan terjangkau oleh masyarakat yang belum terlayani, dimana transaksi yang terjadi melalui jalur informal pada saat ini terjadi dengan biaya-biaya baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat tidak efisiennya transaksi yang terjadi di masyarakat yang belum terlayani (Mas, 2009), sehingga adanya biaya yang dikenakan pada transaksi tertentu merupakan konsekwensi ekonomis dari model bisnis layanan perbankan tanpa cabang yang ada.

Sebagai pembanding, untuk segmen yang sudah menggunakan jasa perbankan di Indonesia, penarikan sebesar Rp. 300.000 melalui ATM yang bukan dimiliki oleh Bank nasabah lazimnya dikenakan biaya sebesar Rp. 5.000 untuk switching (yang akan menjadi Rp. 7.500 per 1 Oktober 2014). Biaya tersebut diterjemahkan menjadi berkisar di bilangan 2%-3% komisi yang dibayarkan untuk efisiensi yang diterima oleh nasabah. Untuk nominal transaksi yang lebih kecil sebagaimana terlihat dari pelaksanaan uji coba, maka penerapan biaya oleh penyedia layanan (sebagai penggganti efisiensi yang diterima nasabah) telah menjadi kaidah lazim didalam industri perbankan pada saat ini.

Sebagai masukan tambahan, untuk mendorong adanya adopsi atas layanan perbankan tanpa cabang sebagai tahap awal dari less-cash society di Indonesia, maka regulator perlu untuk terus mendorong pihak perbankan untuk terus berinovasi dan menambahkan fitur-fitur yang relevan kedalam layanan LAKU PANDAI, serta melakukan upaya edukasi finansial kepada nasabah dan calon nasabah. Sejalan dengan bertambahkan ketersediaan agen didalam komunitas terkecil layanan (atau yang dikenal juga dengan istilah “granularity of service” oleh Ignacio Mas, 2009), diharapkan tingkat adopsi masyarakat atas layanan juga meningkat sejalan dengan prinsip “network effect” yang mengurangi relevansi dari kebijakan terkait subsidi atas layanan. Perlu juga dipahami bahwa untuk menjamin ketersediaan jaringan agen yang cukup serta dengan layanan yang standar, terdapat konsekwensi ekonomi dengan hubungan yang erat dengan model layanan perbankan tanpa cabang.

3.  Aspek Sebaran Layanan Keagenan dan hubungannya dengan adopsi awal layanan oleh masyarakat Unbanked dan Underbanked

Sebagai layanan dengan bentuk baru bagi pengguna yang belum pernah menggunakan layanan sejenis sebelumnya (novel services), penerapan layanan perbankan tanpa cabang di Indonesia tentunya tidak akan terlepas dari permasalahan awal adopsi layanan sebagaimana di diskusikan dalam paragraf terakhir dari bagian kedua makalah ini. Hal ini sejalan dengan pengalaman dari penerapan layanan serupa di beberapa negara lain (Ngugi dkk, 2010), yang salah satunya dapat dimitigasi melalui program pendidikan masyarakat atas layanan keuangan formal (Cohen & Lee, 2008).

Lebih lanjut lagi, berdasarkan kajian literatur yang penulis lakukan, salah satu faktor yang mendorong adopsi awal secara massif dari layanan MPESA adalah kondisi sosial tertentu yang menjadi katalis natural dari MPESA. Secara khusus, sebagaimana dituangkan oleh kajian kasus oleh Camner, Pulver & Sjoblom (2012), tren urbanisasi yang terjadi di Kenya diidentifikasikan sebagai salah satu pendorong utama keberhasilan MPESA untuk menjadi alat transaksi elektronik utama oleh masyarakat Kenya dalam melakukan transaksi sehari-hari. Merujuk kepada tren serupa yang dialami Indonesia (Firman, 2012) yang memperlihatkan rasio penduduk urban di Indonesia adalah sebesar 49.7%, adanya layanan yang tersedia secara luas, baik di daerah perkotaan maupun di daerah luar kota juga akan mendorong adopsi layanan perbankan tanpa cabang secara massif di Indonesia, yang secara langsung juga akan berdampak langsung terhadap insentif ekonomis bagi para penyedia layanan tersebut.

Atas dasar tersebut, penulis bermaksud untuk memberikan masukan atas RPOJK LAKU PANDAI Pasal 6, Ayat (2), yang saat ini berbunyi sebagai berikut: “Lokasi pihak ketiga yang bekerjasama dengan Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c dapat berada di seluruh wilayah Indonesia, namun tidak termasuk di ibukota proponsi, ibukota kabupaten atau kotamadya”, dimana secara khusus terdapat pembatasan pembukaan agen layanan LAKU PANDAI di daerah perkotaan.

Berdasarkan kajian literature yang telah penulis sampaikan sebelumnya, adanya pembatasan tersebut berpotensi akan mengakibatkan terputusnya jaringan nilai (value-chain) dari masyarakat migran yang berada di perkotaan kepada komunitas-komunitas yang berada di luar perkotaan.  Sebagai catatan, bukti empiris atas kebutuhan / use case remitensi antara masyarakat perkotaan dengan di luar kota tidak dapat dibuktikan dalam uji coba penerapan Branchless Banking pada 2013 silam mengingat keterbatasan wilayah uji coba. Akan tetapi, survei Gallup (oleh Standish & Kendall) yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan data yang mendukung hipotesa akan dominasi penggunaan jalur remitensi secara informal di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. 

Sebagai catatan, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Johnson & Morduch (2007), persentasi masyarakat urban yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin di Indonesia  adalah sebesar 18.3% (versus 26.3% di daerah non perkotaan), dimana adanya pembatasan atas area layanan berpotensi tidak terlayaninya kebutuhan masyarakat unbanked yang berada di daerah perkotaan akan layanan keuangan formal yang terjangkau (baik secara ekonomis maupun secara psiko-sosial) yang belum dapat terlayani oleh model layanan perbankan konvensional yang ada pada saat ini. Berdasarkan figur statistik yang yang didapat dari kajian IFC (2010), Firman (2012) dan Johnston & Morduch (2007) tersebut di atas, implikasi atas penerapan pembatasan yang diterapkan oleh Rancangan Peraturan OJK tersebut adalah tidak terlayaninya 7-10 juta masyarakat miskin di perkotaan[5] yang belum mempunyai akses terhadap layanan finansial formal.

Selanjutnya, mengacu terhadap studi kasus penerapan MPESA (Ngugi, Pelowski, Ogembo, 2010), pengguna awal dari layanan adalah masyarakat urban berpenghasilan (hal. 4), yang kemudian mendorong adopsi produk tersebut oleh masyarakat non-urban yang berpenghasilan lebih rendah. Logika dari proses adopsi tersebut adalah berdasarkan adanya sumber keuangan yang dikonversikan secara tetap dari bentuk fisik uang menjadi bentuk elektronik, yaitu didalam rekening MPESA, yang kemudian digunakan sebagai wadah penyimpanan, serta alat pengiriman uang ke daerah luar kota. Atas dasar observasi ini, maka adanya akses terhadap titik-titik layanan di daerah perkotaan, dimana masyarakat di daerah perkotaan mempunyai akses yang lebih luas terhadap informasi serta densitas populasi yang lebih padat, akan mendorong adopsi awal dari layanan perbankan tanpa cabang secara lebih efisien dan berskala tinggi.

Atas dasar kajian literature tersebut, penulis ingin memberikan masukan untuk ditiadakannya pembatasan atas cakupan area layanan perbankan tanpa cabang. Strategi alternatif yang dapat diterapkan untuk meyakinkan adanya insentif bagi pertumbuhan jaringan keagenan yang sehat di daerah yang membutuhkan (baik perkotaan maupun non-perkotaan) adalah dengan penerapan rasio tertentu jumlah titik layanan di daerah perkotaan dan non perkotaan yang dapat dibuka oleh penyedia jasa sebagaimana diterapkan oleh MPESA (Mas, 2009). Perlu diingat bahwa penyedia layanan mempunyai insentif natural untuk memaksimalkan efektivitas dari jaringan keagenan, dimana penyedia layanan akan terdorong secara natural untuk membuka layanan di daerah-daerah yang potensial baik di daerah perkotaan maupun non perkotaan.

4.  Kesimpulan

Adanya regulasi yang mendukung layanan perbankan tanpa cabang telah diidentifikasikan oleh beberapa studi-studi di beberapa negara sebagai “enabling factor” utama yang akan mendorong terbentuknya layanan keuangan tanpa cabang yang sehat dan terjangkau secara universal. Untuk itu, adanya inisiatif dari OJK untuk mendorong terbentuknya layanan tersebut melalui penerapan aturan khusus yang mengatur adanya layanan LAKU PANDAI merupakan langkah maju yang dibutuhkan, terutama mengingat konteks perkembangan sosio ekonomi serta teknologi yang ada di Indonesia pada saat ini.

Akan tetapi untuk meyakinkan terbentuknya perilaku positif dari masyarakat yang dituju terkait layanan keuangan, dalam hal ini segmen masyarakat unbanked dan Underbanked, serta adanya insentif yang cukup bagi penyedia layanan untuk dapat memperkenalkan layanan yang relevan bagi segment masyarakat yang disasar tersebut, maka untuk tahap awal dari terbentuknya layanan tersebut, pihak regulator perlu mempertimbangkan dengan seksama keseimbangan antara mengatur aspek-aspek tertentu yang dibutuhkan vs. pengaturan atas seluruh faktor-faktor yang terkait layanan tersebut (balancing the need to regulate vs. the concern of over-regulating). Untuk itu, penulis berharap bahwa makalah ini dapat berfungsi sebagai salah satu masukan konstruktif yang dapat digunakan sebagai pertimbangan atas draft peraturan yang saat ini sedang dipersiapkan oleh OJK.


Daftar Referensi:


Camner, G., Pulver, C., Sjoblom, E. 2012. What Makes a Succesful Mobile Money Implementation? Learnings from M-PESA in Kenya and Tanzania. GSMA MMU

Cohen, M., Hopkins, D., Lee, J. 2010. Financial Education: A Bridge between Branchless Banking and Low-Income Clients. Microfinance Opportunities: Washington, DC. Working Paper No. 4

Dermish, A., Kneiding, C., Leishman, P. 2012. Branchless and Mobile Banking Solutions for the Poor: A Survey of the Literature. Money. Vol. 6, No. 4, pp 81-98.

Firman, T. 2012. Urbanization and Urban Development Patterns. The Jakarta Post, 12 May 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/12/urbanization-and-urban-development-patterns.html accessed on 28 August 2014

International Finance Corporation. 2010. Mobile Banking in Indonesia: Assessing the Market Potential for Mobile Technology to Extend Banking to the Unbanked and Underbanked. International Finance Corporation

Johnston, D., Morduch, J., 2007. The Unbanked: Evidence from Indonesia. Financial Access Initiatives: New York

Mas, I., Ng’weno, A. 2009, Three Keys to M-PESA’s success: Branding, Channel Management, and Pricing. Bill & Melinda Gates Foundation

Mas, I. 2009. The Economics of Branchless Banking. Innovations. Vol. 4, No. 2. pp 57-75.

Morawczynski, O., 2010. Examining the Adoption, Usage and Outcomes of Mobile Money Services: The Case of M-Pesa in Kenya. University of Edinburg

Ngugi, B., Pelowsky, M., Ogembo, J.G., 2010. M-Pesa: A Case Study of the Critical Adopter Role in The Rapid Adoption of Mobile Money Banking in Kenya. Electronic Journal of Information System in Developing Countries. Vol. 43 No. 3. Pp 1-16

Pickens, M., Porteous, D., Rothman S. 2009. Scenario for Branchless Banking in 2020. CGAP Focus Note. No. 57

Standish, M., Kendall, J. 2013. Informal Cash Transfer Dominate in Developing Countries. Gallup. http://www.gallup.com/poll/164339/informal-cash-transfers-dominate-developing-countries.aspx?version=print accessed on 28 August 2014




[1] Penulis adalah peneliti dan mahasiswa program doktoral di Universitas Indonesia yang meneliti penerapan perbankan tanpa cabang di Indonesia, serta pengamat industri perbankan. Penulis dapat dihubungi di donnyprasetya@yahoo.com atau di +62 818 104624

[2] IFC (2010), Mobile Banking in Indonesia: Assessing the market potential for mobile technology to extend banking to the unbanked and underbanked. Jumlah pemilik rekening sebesar 55-65 juta orang versus jumlah penduduk indonesia yang memiliki akses terhadap layanan telekomunikasi seluluar sebesar 145-165 juta orang
[3] Faktor-faktor kunci lain yang teridentifikasi adalah peran dari upaya pemasaran dan pengembangan dan manajemen kanal atas jaringan yang menggunakan kombinasi agen dan agen super untuk mempercepat skala dari layanan dengan tetap menjaga kualitas layanan dan kontrol atas jaringan
[4] Berdasarkan pengalaman penulis dalam uji coba produk btpn WOW! serta dari presentasi yang dilakukan oleh Bank Mandiri dalam forum pertemuan di bulan November 2013.
[5] Perkiraan jumlah tersebut diperoleh dari jumlah pengguna layanan selular yang belum mempunyai akses terhadap layanan bank sebesar 65 juta orang (IFC, 2010), dikalikan rasio masyarakat Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan (Firman, 2012), serta dikalikan rasio masyakat urban yang tergolong masyarakat miskin (Johnson & Morduch, 2007)