Not so exciting title, but I'm using every opportunities that I got to put some contents on this blog :)
Nevertheless, despite the rather boring title, the context and circumstances surrounding this post is rather interesting, as follows:
Couple of months back, with some idle time at hand (got a lot at that time), I came across the Feb or March 2014 edition of SWA, one of Indonesia's leading business publication. One of the annual events that SWA is organizing is the competition for Indonesia Future Business Leader (IFBL), which is a tall order in my opinion, especially looking at the past winners of the competition, which in general are all very serious, ambitious, high performing climber of corporate career ladder -- not a type that people that knows me well associated me into. However, since I've got some spare time at hand, I did spent some good hours thinking about the subject of my submission and which format will be the best to present the idea.
Being a lazy bum as I am, I practically copied the entire introduction paragraph from my dissertation, and wing it from there, based on my current understanding about the industry trends at that time. This is where things turn to become a bit interesting.
After submitting the paper to the good people at SWA, I've never heard back about the competition for some months. In fact, I've totally forgotten about the event and the paper, until today I received an email basically confirming the reception of the paper, and an invitation for me to present the ideas to a acclaimed panel that will judge the idea, which consists no less than some of the well known name in the business. Searching back on the folders (thanks God for Dropbox!), I found the article that become the subject of this post. Essentially, it can be renamed as "Donny's view on how the banking industry in Indonesia will evolve", but then again, 2 obvious problems from this title: 1) No one cared about what Donny's think anyway, and 2) Who the hell is Donny? :). But, Upon reading it, just realized one thing: Some of the things that I wrote to become an ideal combination of capabilities and resources to deliver my version of the "future", has materialized recently in my lives, which is never in my wildest dream back when I wrote this article came across to be possible. So, another reason to be thankful to the Almighty on his guidance and blessing! It has always been a strange turn of events for me, but for some reasons the puzzles started to show its grand design I guess.
Bankers, take note: if you are already doing some of these things, bless you and more power to you and your Banks. Otherwise, the time will tell I guess :)
Enjoy! (sorry again, this is all in Bahasa)
STRATEGI BERBASIS DISRUPSI: PENYEDIAAN
LAYANAN KEUANGAN DIGITAL TERKONEKSI SOSIAL
Latar Belakang:
Dalam bukunya yang berjudul
“Seizing the White Space”, penulis Mark W. Johnson mengemukakan bahwa siklus
hidup dari organisasi bisnis di masa ini semakin bertambah pendek. Dengan
menggunakan jangka waktu dimana perusahaan berada didalam index S&P 500
sebagai indikator, ditenggarai bahwa pada tahun 1958, rata-rata perusahaan
menghabiskan waktu selama 57 tahun berada didalam list tersebut. Angka tersebut
mengalami penurunan drastis dimana pada tahun 1983, angka tersebut turun
menjadi 30 tahun, dan bahkan di tahun 2008, rata-rata periode perusahaan berada
dalam index S&P 500 hanya tinggal selama 18 tahun. Hal ini menguatkan teori
“kompetisi hiper” yang dikemukakan oleh D’Aveni, yang kemudian juga diimbuhkan
oleh Rita McGrath dalam bahasannya akan “transient
competitive advantage”.
Apakah menjadi sebab utama dari
percepatan penurunan daya saing dari perusahaan-perusahaan masa kini?
Berdasarkan pengamatan, penulis berkesimpulan bahwa kondisi persaingan yang
sangat dinamis tersebut diakibatkan oleh beberapa tren utama yang mundul dalam
beberapa decade terakhir, seperti munculnya tren teknologi mobilitas (mobile technology), termasuk didalamnya
perangkat smart dan portable –seperti telpon pintar dan perangkat wearables, paradigma open platform (seperti layanan cloud),
teknologi dan paradigma berbasis hubungan sosial, serta perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya yang berimbas pada meleburnya batasan-batasan “normal”
antara industri, serta munculnya produk maupun layanan dengan matriks
harga/kinerja yang baru (seperti layanan bersifat freemium), maupun dengan model bisnis yang benar-benar baru.
Dalam era globalisasi masa kini,
maka perusahaan-perusahaan dalam negeri di Indonesia pun tidak kebal dari
adanya tren-tren tersebut diatas, dan kita telah bersama-sama mengamati awal
mula dari perubahan industri yang diakibatkan dinamika persaingan dunia us (aha
kontemporer, misalnya seperti munculnya
kategori baru dalam industri media yaitu media berbasis digital yang sepenuhnya
dihantarkan melalui perangkat pintar.
Industri perbankan, sebagai salah
satu industri yang secara ketat diregulasi baik oleh BI dan OJK, tidak akan
imun dari pengaruh-pengaruh tersebut. Untuk itu, penulis mencoba menggambarkan
strategi transformasi yang dapat digunakan oleh industri perbankan pada
umumnya, serta Bank komersial pada khususnya, dalam menghadapi era baru
kompetisi didalam dunia baru yang saling terhubung, baik secara digital maupun
secara sosial.
Peleburan Batasan Antar Industri Serta Potensi Bisnis Baru
Sebagai dampak langsung dari krisis
ekonomi yang terjadi pada akhir 90an, industri perbankan di tanah air merupakan
salah satu industri yang paling diregulasi. Disisi lain, terdapat paradox
dimana industri perbankan di Indonesia merupakan salah satu pasar dengan margin
keuntungan tertinggi di dunia. Hal ini mengakibatkan terjadinya kecendrungan
bagi industri perbankan di tanah air, baik dari sudut pandang pemain industri
maupun regulator, untuk lebih cenderung mengarah kepada konservatisme dididalam
strategi bisnis yang ditempuh.
Akan tetapi, dengan semakin
tingginya tingkat persaingan yang ada di tanah air, maka bank komersial,
terutama yang melayani segmen ritel, belakangan mulai terdorong untuk melakukan
inovasi, baik secara kanal layanan (misalnya melalui ekspansi jaringan
ATM/EDC/Internet Banking/Mobile Banking), produk (emoney/cash card) maupun
layanan nasabah (inovasi dari cabang). Namun satu yang patut dicatat adalah
bentuk inovasi yang terjadi masih merupakan inovasi berbasis kapabilitas yang
dimiliki (sustaining innovation), dan
masih sangat jarang diamati adanya inovasi radikal model bisnis.
Selain kecendrungan inovasi yang
masih dibatasi oleh faham konservatisme tersebut, industri perbankan juga
cenderung mempunyai visibilitas terbatas dalam menganalisa tingkat persaingan,
yaitu hanya mencangkup persaingan industri perbankan. Mengacu pada diskusi awal dibagian latar belakang
dari tulisan ini, maka pada masa mendatang, Bank akan mendapatkan persaingan
baru yang bukan hanya dating dari industri perbankan.
Secara awal, hal ini telah teramati
dari inisiatif strategis dari industri telekomunikasi untuk memfasilitasi
transaksi pembayaran yang dibutuhkan oleh sebagaian besar masyarakat melalui
layanan uang elektronik yang berbasis teknologi mobile. Selain itu, sudah lazim
ditemukan layanan sejenis di masyarakat yang ditawarkan oleh institusi non
bank, seperti layanan payment point yang dengan sangat mudah dapat ditemukan di
lingkungan masyarakat, bahkan di daerah-daerah yang tidak terdapat cabang
perbankan disekitarnya.
Timbulnya kecendrungan atas
meleburkan batasan (blurring of boundaries) antara industri perbankan dan
telekomunikasi ini mempunyai dampak jangka menengah yang dapat menyebabkan
pihak perbankan kehilangan tingkat kompetisinya, tetapi juga membawa potensi
bisnis yang luarbiasa bagi Bank yang menyadari hal tersebut dan mempunyai
intensi serta kapabilitas untuk melakukan inovasi bisnis model, yang salah
satunya akan dibahas oleh penulis, yaitu Layanan Perbankan Digital Berbasis
Sosial.
Layanan Perbankan Digital Terkoneksi Sosial
Yang dimaksud dari Layanan
Perbankan Digital Terkoneksi Sosial (Socially-Connected Digital Financial
Service, atau selanjutkan akan disingkat sebagai “SCDFS”) adalah sebuah
paradigma baru layanan perbankan yang berbasis layanan perbankan universal
untuk semua, diakses melalui kanal digital, dengan antar-muka pengguna (user
interface/UX) yang secara khusus didesain dengan menggunakan konsep
“Human-Centered Design” / HCD.
Sebagai contoh kongkrit, pada saat
ini sudah cukup lazim dikenal adanya layanan perbankan mobile yang dapat
diakses melalui perangkat pintar. Perbedaan utama dari SCDFS adalah desain yang
memungkinkan produk perbankan tersebut diakses bukan hanya oleh pengguna yang
berasal dari segmen tradisional yang dilayani perbankan (“banked” segment),
tetapi juga mencangkup seluruh lapisan masyarakat, termasuk didalamnya segmen “Unbanked”
serta “Underbanked”. Disamping itu, layanan berbasis SCDFS harus memfasilitasi
akses layanan bukan hanya menggunakan perangkat pintar, tetapi harus juga
melalui semua kanal interaksi yang ada, seperti perangkat HP yang sangat
sederhana, layanan melalui telpon, internet, serta layanan berbasis interaksi
personal antar manusia, baik dilakukan didalam cabang maupun diluar cabang
dengan menggunakan konsep agen perbankan.
Aspek ketiga dari layanan berbasis
SCDFS adalah adanya antarmuka yang intuitif, mudah dimengerti, serta relevan
bagi masyarakat. Untuk itu, maka UX untuk layanan SCDFS dirancang dengan
menggunakan metodologi “Human Centered Design”, serta di hantarkan (delivery)
dengan menggunakan paradigm kostumisasi masal (“mass costumization”).
Pada titik ini, penulis perlu
mengingatkan bahwa terdapat perbedaan signifikan dari layanan SCDFS dari
layanan perbankan pada umumnya yang dikenal saat ini. Layanan SCDFS dimaksudkan
sebagai “life tools” dengan infrastruktur bank dibelakangnya sebagai
fasilitator perpindahan “value”, baik “monetary value” yang secara tradisional
dilakukan oleh bank, tetapi juga “social value” yang dapat berbentuk informasi,
baik yang berasal dari bank maupun dari luar bank (seperti dari “social
network”). Dengan proposisi nilai utama sebagai penyediaan “life tools” dan
bukan “transaction tools”, maka SCDFS merupakan kategori dari pelayanan
perbankan yang akan mendisrupsi industri perbankan secara umum.
‘
Model Bisnis dan Kapabilitas Pendukung Implementasi SCDFS
Diluar aspek “customer facing UX”
yang telah digambarkan sebelumnya, layanan SCDFS harus dirancang secara
komprehensif dengan bisnis model dan kapabilitas yang baru, sehingga layanan
tersebut dapat tersedia secara universal, terjangkau, serta relevan. Berikut
adalah komponen-komponen yang dibutuhkan untuk implementasi SCDFS:
1.
Model Bisnis Baru
Implementasi
SCDFS membutuhkan terobosan model bisnis perbankan, termasuk didalamnya
struktur organisasi, aspek manajemen resiko, kepatuhan, sumber daya, serta
konsep kemitraan antara Bank dengan pihak-pihak ketiga lainnya.
Untuk dapat
mendesain struktur bisnis baru yang dapat memaksimal nilai (value capture) dari
paradigm SCDFS, maka dibutuhkan suatu organisasi baru yang inovatif, agile,
kreatif, serta dapat bergerak secara cepat. Disampingi itu, implementasi model
bisnis membutuhkan adanya orientasi strategis yang tepat dari inisiator SCDFS,
sehingga kebutuhan akan sumberdaya, baik finansial maupun non finansial dapat
terpenuhi dengan layak.
2.
Kapabilitas Teknologi
Sebagai layanan berbasis digital, adanya kapabilitas
pengembangan teknologi yang mumpuni merupakan kebutuhan dasar dari organisasi.
Akan tetapi, mengingat paradigm baru yang dibutuhkan dalam konsep SCDFS, maka
teknokrat yang dibutuhkan didalam pengembangan konsep harus mempunyai visi yang
luas dengan kemampuan penalaran yang baik atas emerging tren yang terjadi.
Sebagai salah satu contohnya, penerapan SCDFS
membutuhkan teknologi berbasis “open platform”, mengingat perlunya kerjasama
berbasis “coopetition” dengan pihak luar, seperti perusahaan telekomunikasi,
payment gateway, switching, bahkan juga dengan penyedia layanan media sosial
melalui penggunaan “Managed Application Programming Interface/Managed API”,
suatu konsep yang bagi banyak pelaku industri perbankan merupakan suatu hal
yang tabu untuk di implementasikan.
Disamping “open platform”, implementasi SCDFS juga
membutuhkan penerapan teknologi yang tepat untuk dapat menerapkan konsep Mass
Customization yang berdasarkan atas pengambilan keputusan yang berdasarkan
Predictive Analytics untuk dapat mengelola portofolio nasabah yang berjumlah
ratusan juta dengan ratusan milyar transaksi yang berpotensi dapat terjadi dari
layanan ini.
3.
Kapabilitas Inovasi
Selain inovasi model bisnis yang didukung oleh
kapabilitas teknologi yang mumpuni, maka penyedia layanan SCDFS membutuhkan
kapabilitas inovasi yang baik, yang memungkinkan organisasi untuk dapat melihat
kesempatan bisnis melalui sisi yang berbeda, serta untuk bergerak cepat dalam
memanfaatkan kesempatan tersebut.
4.
Kapabilitas Pengetahuan
Penerapan konsep SCDFS membutuhkan juga paradigma yang
baru dalam desain struktur organisasi. Mengingat basis dari bisnis SCDFS adalah
berbasis digital, maka organisasi yang akan melakukan implementasi akan
membutuhkan pengembangan new skills
dan knowledge diluar domain perbankan
tradisional, seperti sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan mengenai
implementasi predictive analytics, machine learning, digital transactions, serta Social Network Analysis (SNA).
Disamping pengetahuan berbasis teknologi diatas, Bank yang
menawarkan SCDFS juga membutuhkan pengetahuan baru dalam pengelolaan
operasional, seperti untuk pengelolaan Agen Banking, yang nota bene merupakan
sesuatu hal yang belum pernah ada sebelumnya.
5.
Kepabilitas Pendukung
Mengingat pada dasarnya SCDFS merupakan layanan
perbankan digital, maka adanya skillset dasar yang dibutuhkan oleh perbankan,
seperti manajemen resiko, pengelolaan float, dan sebagainya, tetap merupakan
aspek-aspek penting yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Yang menjadi pembeda
adalah adanya budaya baru berbasis paradigm utama SCDFS, yaitu “universally
accessible and relevant financial services” yang menajadi pendorong
pengembangan kapabilitas-kapabilitas pendukung tersebut.
Potensi Layanan SCDFS
di Indonesia
Layanan digital telah menjadi suatu hal yang lazim dan telah
menjadi standar hidup bagi kebanyakan orang Indonesia. Laporan IFC di 2010
menggambarkan bahwa terdapat 165 juta orang di Indonesia yang mempunyai akses
kepada layanan selular. Jumlah pengguna Internet juga mengalami kenaikan yang
cukup menggembirakan sejalan dengan dorongan pemerintah untuk menyediakan akses
layanan internet hingga ke desa-desa. Secara anekdot, Indonesia juga dikenal
sebagai negara dengan jumlah pelanggan Blackberry, Facebook, Path, dan berbagai
layanan sosial-digital lainnya, yang termasuk terbanyak di dunia. Dengan kata
lain, embrio dari layanan digital terkoneksi sosial di Indonesia telah cukup
lama terbentuk dan terus meningkat.
Akan tetapi, laporan IFC di 2010 tersebut juga menggambarkan
aspek lain dari masyarakat Indonesia: Dari 240 juta rakyat Indonesia, hanya
terdapat sekitar 60 juta orang yang mempunyai akses terhadap layanan perbankan.
Apakah layanan perbankan bukan merupakan sesuatu hal yang vital sehingga
terdapat lebih dari 100 juta orang Indonesia yang mempunyai akses terhadap
layanan selular tapi tidak mempunyai rekening bank? Dari pengalaman penulis
berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan di Indonesia, layanan “perbankan”
(dalam hal ini simpan dan pinjam), telah mengakar didalam masyarakat Indonesia,
walau secara informal.
Kita semua mahfum bahwa sebagian besar orang Indonesia
mempunyai kebiasaan untuk menabung secara informal, baik melalui grup (seperti
koperasi, arisan), asset building
(hewan ternak), maupun cara-cara alternative lainnya (seperti emas). Disamping
itu, kebutuhan akan pembayaran tagihan terdapat servis dasar seperti pembelian
pulsa, pembayaran PLN dan lain lain juga telah memunculkan potensi bisnis yang
luar biasa besar dalam bentuk payment point / penjual pulsa yang lazim kita
temukan dimana-mana. Hal-hal ini merupakan bentuk-bentuk informal dari layanan
finansial yang masih belum dapat difasilitasi oleh industri perbankan pada saat
ini, sehingga ditenggarai terdapat 100 juta lebih masyarakat Indonesia yang
dikategorikan sebagai “unbanked’ Perlu dicatat bahwa definisi “unbanked” disini
tidak sama dengan tidak mempunyai uang.
Sebagai contoh, di Indonesia diperkirakan terdapat 600 ribu
orang petani coklat yang tersebar dari Sumatera, Sulawesi, Bali, dan Indonesia
Bagian Timur lainnya. Dengan rata-rata kepemilikan per orang sekitar 1.5 ha,
dan dengan rata-rata harga komoditas kakao sebesar 25 ribu rupiah / kilo
kering, maka setiap petani kakao di Indonesia mempunyai potensi penghasilan
hampir mencapai 100 juta rupiah pertahun, suatu jumlah yang jauh diatas
rata-rata GDP per kapita Indonesia. Disisi lain, keterbatasan sistim perbankan
yang berbasis cabang menyebabkan adanya ketimpangan penyediaan layanan
perbankan yang belum mampu menjangkau para petani tersebut.
Diluar rantai nilai terkait coklat tersebut, Indonesia juga
mempunyai banyak rantai nilai komiditas unggulan yang bernilai tinggi lainnya,
seperti rumput laut, kopi, kelapa sawit, pertambangan dan lain-lain yang umumnya
belum terjangkau layanan perbankan konvensional.
Dari sisi sosio-demografi masyarakat sendiri, didalam
laporannya McKinsey (2013) memprediksi akan terdapat 70 juta orang Indonesia
yang akan menjadi kelas menegah baru di tahun 2020. Adanya kelas menengah baru
dengan jumlah lebih besar dari seluruh populasi Vietnam ini akan secara
langsung membuka kesempatan-kesempatan baru bagi penyedia layanan perbankan di
tanah air.
Dari uraian diatas, terlihat jelas bahwa baik secara
socio-demographi, tren teknologi, serta peta persaingan industri perbankan pada
saat ini yang terkonsentrasi dalam penyediaan produk-produk perbankan yang
bersifat komoditas, maka terdapat prospek yang sangat baik bagi pengembangan
SCDFS di Indonesia. Akan tetapi, tentunya pertanyaan terbesar – dan logis—
berikutnya adalah: bagaimana peta strategi implementasi layanan SCDFS
kedepannya.
Implementasi SCDFS
Sebagaimana dibahas oleh banyak akademisi dan ahli manajemen,
inovasi mencangkup dua hal: Ide, yang bagi banyak orang dan organisasi merupakan
hal yang mudah, serta Implementasi, yang jauh lebih sulit dari menciptakan
daftar ide-ide canggih yang dapat diterapkan di organisasi. Penulis akan
menambahkan aspek ketiga yang menghubungkan antara Ide dan Implementasi, yaitu
Strategi.
Penulis juga menyadari bahwa bagian awal dari tulisan ini
mempunyai banyak konsep-konsep baru yang sepertinya jauh untuk diterapkan bagi
kondisi di Indonesia. Akan tetapi, penulis akan berargumen bahwa di era
globalisasi saat ini, dimana seluruh pasar di dunia saling terhubung, terlebih
lagi dengan implementasi MEA 2015, maka industri perbankan di Indonesia harus
dapat menerapkan konsep-konsep baru untuk tidak kehilangan tingkat daya saing
yang dimilikinya. Hal ini perlu dilakukan dengan menyadari bahwa tidak semua organisasi
mau, dan mampu, untuk melakukan implementasi inovasi, terutama yang bersifat
radikal dan disruptif seperti SCDFS. Akan tetapi tugas penulis disini adalah
untuk meyakinkan pembaca akan feasibility
dari ide SCDFS tersebut.
Implementasi Fase 1: Universal Access to Finance
1.
Regulasi Digital Banking
Regulasi Bank
Indonesia yang mengatur jasa layanan perbankan berbasis digital dapat
dikategorikan menjadi 2 kategori besar, yaitu layanan perbankan elektronik
(ebanking) serta layanan uang elektronik (emoney). Sebagaimana kita lihat, pada
saat ini telah sangat lazim bagi bank-bank komersial yang bergerak di segmen
retail untuk menawarkan produk-produk yang dikembangkan dengan berbasis
digital, seperti Kartu Kredit, Kartu Debit, ATM, POS, Tap Card, dan lain lain.
Selain itu banyak juga ditemui inovasi atas kanal-kanal layanan yang berbentuk
internet banking, mobile banking, sms banking dan sejenisnya.
2.
Regulasi Branchless Banking
Secara formal, Branchless Banking didefinisikan sebagai
layanan digital melalui jaringan telpon, dengan
menggunakan Agen Banking sebagai perantara bank dalam melayani nasabah.
Pada saat tulisan ini dibuat, baik BI dan OJK sedang memfinalisasi regulasi
yang mengatur penggunaan dan pengelolaan Agen Banking oleh perbankan dalam
rangka mendukung inisiatif Inklusi Finansial yang digadang-gadang oleh
permerintah.
Secara umum, layanan digital yang
tersedia saat ini merupakan basis awal dari pengembangan SCDFS. Akan tetapi,
adanya regulasi yang memperbolehkan penggunaan agen perbankan untuk melakukan
pembukaan rekening di lapangan, serta melayani transaksi tarik tunai dan setor
tunai, atas produk dasar yang berbentuk rekening, akan menjadi momen awal
perubahan industri perbankan secara fundamental.
Hal ini penulis yakini atas dasar
pengamatan yang seksama atas impelementasi layanan sejenis di beberapa negara
lain. Dengan adanya layanan berbasis teknoklogi tersebut, maka produk perbankan
dapat menjadi suatu layanan yang bersifat universal dan tersedia dimana-mana,
hampir mirip dengan layanan telepon selular yang sangat jamak ditemui digunakan
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Keberhasilan dari Fase 1 adalah
apabila layanan perbankan dapat diterima dan diadopsi oleh sebagain besar
masyakat yang sebelumnya tidak terlayani oleh layanan perbankan secara formal.
Fase 2: Pengembangan Ekosistem
dan Kapabilitas Portofolio
Sejalan dengan pelaksanaan fase 1,
maka perlu juga ditingkatkan kegunaan dari produk dasar yang ditawarkan ke
masyarakat. Hal ini sejalan dengan teori Inovasi Disrupsi yang dikemukakan oleh
Prof. Clayton Christensen dalam bukunya “Innovator’s Dillema”, dimana produk
yang awalnya diterima oleh segmen yang sebelumnya tidak terlayani (karena
“underperform” produk lain yang sudah ada), akan mulai diterima oleh segmen
“mainstream”.
Pengembangan fitur atas produk
dasar tersebut perlu dilakukan dengan mempertimbangkan penggunaan produk /
layanan bagi segmen-segmen tertentu, yang dilakukan dengan menganut paradigma
“Human Centered Design”. Dengan penggunaan paradigma HCD tersebut, diharapkan
antarmuka yang didesain beserta fitur-fitur yang diperkenalkan akan menjadi
relevan bagi pengguna dan calon pengguna.
Disamping itu, organisasi
pengimplementasi juga perlu memperkuat kapabilitas-kapabilitas lainnya yang
diistilahkan oleh penulis sebagai “Kapabilitas Portofolio”, seperti kapabilitas
pengambilan keputusan berdasarkan Predictive Analytics yang didasari
pengetahuan atas transaksi yang terjadi secara real-time.
Fase 3: Repositioning layanan
sebagai Life Tools
Dengan melakukan upaya-upaya
strategis untuk meningkatkan tingkat penggunaan dari layanan, maka Bank dapat
mulai memfokuskan upayanya untuk meningkatkan “stickiness” dari layanan, yaitu
dengan melakukan reposisi dari layanan transaksi menjadi “life tools”. Diharapkan dari reposisi tersebut, makan
layanan yang ditawarkan akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
keseharian pengguna, dimana Bank harus dapat secara aktif melakukan tinjauan
atas kesempatan-kesempatan bisnis yang mungkin timbul layanan tersebut.
Di fase ini akan sangat diperlukan
adanya kapabilitas inovasi yang mumpuni dan didesain secara seksama untuk dapat
memaksimalkan potensi bisnis yang ditampilkan bukan saja oleh model bisnis yang
baru, tapi juga dari interaksi yang baru antara penyedia layanan dengan
pengguna layanan.
Kesimpulan
Dalam tulisan ini, penulis mencoba
untuk menjabarkan konsep SCDFS secara gamblang beserta implikasi strategis bagi
bisnis perbankan kedepannya. Beberapa hal yang menjadi bahasan utama antara lain
adalah 1) Perlunya industri perbankan untuk menyadari perubahan tren yang
terjadi pada saat ini akan melebur batasan-batasan industri tradisional, 2)
Adanya potensi yang sangat besar dari pengembangan model bisnis SCDFS, 3)
Tantangan khusus untuk implementasi model bisnis SCDFS yang membutuhkan knowledge base yang benar-benar baru, 4)
Urutan fase implementasi yang dapat ditempuh oleh Bank untuk dapat
merealisasikan potensi dari konsep SCDFS.
Akhir kata, penulis mengharapkan
pembahasan singkat atas konsep SCDFS dapat membantu pembaca untuk menyatukan
bagian-bagian terpisah dari puzzle industri
perbankan di masa depan yang penulis yakini akan dapat terealisasi dalam decade
ini. Atas dasar pembahasan tersebut, penulis berencana untuk dapat menjadi
pelopor dari implementasi konsep SCDFS, mengingat implikasi strategis dari hal
tersebut yang berdampak signifikan bukan hanya bagi organisasi penulis pada
saat ini, tetapi juga bagi Industri Perbankan di tanah air.
Referensi Terpilih
Christensen, C. (1997). The Innovator’s Dilemma:
When New Technologies Cause Great Firms to Fail. Harvard Business School
Press
IFC
Indonesia, (2010). Mobile Banking in
Indonesia: Assessing the market potential for mobile technology to extend
banking to the unbanked and unbanked”, International Finance Corporation
Johnson, M.
W. (2010). Seizing the white space: Business model innovation for growth and
renewal. Harvard Business Press
McGrath, R.
G. (2013). Transient advantage. Harvard
Business Review, 91(6), pp. 62-70.
McKinsey
Global Institute (2012). The Archipelago
Economy: Unleashing Indonesia’s Potential
Roserngard,
J. K. (2011). If The Banks Are Doing So
Well, Why Can’t I Get A Loan? Regulatory Constraints to Financial Inclusion in
Indonesia. Harvard Kennedy School
The World
Bank (2010). Improving Access to
Financial Services in Indonesia, The World Bank