I had also just realized I haven't had the chance to actually write anything in the space for sometime time, so it is time to get the writing engine sputtering again. This blog is just another venue for that purpose.
Anyway, the following text is what I've submitted to OJK, hopefully the nice ladies at OJK will take this into consideration, otherwise I've wasted several all-nighters this week trying to write a meaningful inputs for the draft regulation. But then again, this has been a good practice to warm up for a more serious dissertation work that I had sadly neglected also for some time now. The input is in Bahasa Indonesia however, but that's where google translate might come in handy I guess.
And before I forgot, just want to let you know that I've moved to another organization as of early August, so I am not longer a Branchless Banker in a Bottom of Pyramid sense, but I am still on the space, doing Digital Banking for a bit more upscale small-end of SME segment, which in a way is still a financial inclusion / development work I guess.
Anyway, enjoy! hope this short write up is informative enough:
TANGGAPAN ATAS
RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAYANAN KEUANGAN TANPA
KANTOR DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF (LAKU PANDAI)
Donny Prasetya [1]
1. Latar Belakang
Sejalan dengan pertimbangan
OJK pada Rancangan Peraturan (RPOJK) akan banyaknya penduduk di Indonesia yang
memperoleh akses terhadap jasa keuangan formal yang disebabkan oleh hambatan
geografi maupun kemiskinan (hal. 1), yang juga didukung oleh data empiris
didalam hasil studi yang dilakukan oleh International Finance Corporation pada
tahun 2009[2],
adanya layanan keuangan tanpa kantor atau juga merupakan suatu kebutuhan mutlak
dari masyarakat yang belum mempunyai akses (segmen unbanked maupun underbanked)
serta menjadi bagian utama dari pembangunan infrastruktur finansial dalam
rangka pengembangan sistim keuangan inklusif di Indonesia.
Akan tetapi, walaupun telah
didukung oleh kebutuhan atas layanan yang telah jelas teridentifikasi tersebut,
penerapan layanan perbankan tanpa cabang membutuhkan suatu upaya yang
terkoordinasi dengan baik untuk meyakinkan terbentuknya faktor-faktor pendorong
pengambangan layanan tersebut di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pengalaman
atas penerapan layanan perbankan tanpa cabang di beberapa negara didunia
memperlihatkan bahwa penerapan model layanan perbankan tanpa cabang membutuhkan
beberapa kondisi-kondisi tertentu, diantaranya kondisi sosial masyarakat
tertentu (Ngugi, Pelowsky, Ogembo, 2010; Morawzynski, 2010), Infrastruktur
layanan keuangan yang ada (Morawczyski & Picken, 2009), adanya insentif
yang tepat bagi penyedia layanan (yang dalam banyak kasus merupakan sektor
perbankan swasta) untuk menyediakan layanan tersebut berdasarkan model bisnis
yang berkesinambungan (market incentive
through provisioning of sustainable business model) (Dermish, Kneiding,
Leishman, 2012), serta adanya Regulasi yang mendukung pengembangan layanan
(Pickens, Porteous & Rothman, 2009).
Sehubungan dengan adanya
kebutuhan atas regulasi untuk mendorong pengembangan layanan perbankan tanpa
cabang yang diidentifikasi dalam studi-studi diatas, pertanyaan dasar tentunya
adalah bagaimana / apakah bentuk rancangan regulasi yang tepat bagi untuk
mendorong layanan perbankan tanpa cabang? Dermish, Kneiding & Leishman
(2012, pp. 21) berpendapat bahwa “sistim
dan prinsip supervisi yang tepat [untuk layanan perbankan tanpa cabang] masih
dalam tahapan yang belum tetap, mengingat terbatasnya pengalaman dari regulator
yang disebabkan keterbatasan layanan perbankan tanpa cabang dengan skala yang
besar”. Disamping itu, hingga diturunkannya tulisan mereka tersebut pada tahun
2012, belum pernah terjadi kegagalan dari sistim layanan perbankan tanpa cabang
secara masif yang disebabkan tidak terselenggaranya kegiatan layanan yang menimbulkan
resiko operasional maupun kekacauan aspek fiskal dari layanan. Lebih lanjut
lagi, Dermish, Kneiding & Leishman (2012) juga menyimpulkan bahwa
kecenderungan untuk memperkenalkan regulasi yang mengatur segala aspek yang
berhubungan dengan layanan (over-regulating
regulation) dapat berpotensi negatif terhadap perkembangan tersebut, dimana
belum terdapat bukti empiris yang cukup secara global atas dampak layanan
perbankan tanpa cabang terhadap resiko-resiko yang secara spesifik tercangkup
didalam banyak regulasi yang telah diperkenalkan, dan dilain pihak menciptakan
dis-insentif bagi penyedia layanan untuk memperkenalkan layanan tersebut bagi
segmen yang disasar secara khusus dari maksud regulasi yang diperkenalkan.
Berdasarkan latar
belakang yang telah dijabarkan sebelumnya, tujuan dari makalah ini adalah untuk
memberikan gambaran dan masukan yang berdasarkan kajian literature atas faktor-faktor
sukses serta studi kasus yang telah terbukti berhasil mendorong penerapan
layanan tanpa cabang di beberapa negara di dunia. Penulis berharap bahwa
tulisan ini dapat menjadi salah satu bahan pertimbangan yang dapat digunakan
oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam merancang dan memperkenalkan layanan
perbankan tanpa cabang (yang juga dikenal dengan istilah “LAKU PANDAI”) secara
tepat sasaran dalam konteks mendorong pengembangan elemen-elemen pendukung
program keuangan inklusif nasional.
2.
Aspek Ekonomis Layanan LAKU PANDAI dan
hubungannya dengan Agent Transaction
Pricing
Sebagaimana dijabarkan
sebelumnya, adanya insentif yang tepat bagi penyedia layanan merupakan salah
satu faktor pendorong utama tersedianya layanan perbankan tanpa cabang yang
tepat sasaran (yaitu yang digunakan oleh segmen yang disasar). Untuk itu, perlu
diyakinkan bahwa regulasi yang mengatur layanan juga mempertimbangkan aspek
ekonomis layanan bagi penyedia jasa, serta pihak-pihak lain yang terlibat
secara langsung dengan layanan seperti jaringan keagenan layanan.
Secara khusus, penulis
ingin memberikan masukan atas rancangan RPOJK LAKU PANDAI Pasal 3, Ayat (2),
Huruf j. yang berbunyi “Penarikan tunai dan/atau transfer keluar ke rekening
lain pada Bank yang sama yang dilakukan nasabah BSA di Agen LAKU PANDAI dapat
dikenakan biaya setelah 4 empat) transaksi dalam 1 (satu) bulan yang sama”,
melalui studi kasus atas model layanan MPesa yang menjadi acuan dasar dari
banyak layanan perbankan tanpa cabang di dunia yang dilakukan oleh Ignacio Mas
& Amolo Ng’weno (2009) sebagai berikut:
Strategy penerapan harga
(pricing strategy) dari produk M-PESA
terindentifikasi sebagai salah satu dari tiga faktor kunci[3] yang
mendorong keberhasilan adopsi produk financial tanpa cabang pada awal
diperkenalkannya layanan. Secara khusus, layanan M-PESA dirancang untuk
mendorong pengguna melakukan setoran kedalam rekening, untuk kemudian
memungkinkan pengguna untuk melakukan layanan pengiriman uang Person to Person (P2P) dengan
menggunakan nomer HP pengirim dan penerima sebagai nomer rekening / tanda
identifikasi dari pengguna. Satu catatan
penting yang perlu diingat bahwa use case
utama di Kenya adalah untuk transaksi P2P/remitensi dari daerah perkotaan ke
daerah non-perkotaan, sehingga strategi penerapan harga dari produk MPESA dirancang
untuk memaksimalkan transaksi tersebut.
Dalam prakteknya,
Safaricom sebagai penyedia jasa layanan MPESA mendesain strategi penerapan
harga dari MPESA untuk memberikan revenue
stream yang cukup bagi agen yang memberikan layanan tarik dan setor tunai
kepada nasabah, yang dituangkan dalam prinsip pertama strategi harga dari
layanan perbankan tanpa cabang yaitu: desain dari strategi harga harus
mempertimbangkan insentif bagi agen, yang merupakan pihak ketiga dan tidak
menerima kompensasi lain selain komisi transaksi, dimana penyedia layanan harus
meyakinkan bahwa agen mendapatkan insentif yang cukup untuk menjaga tingkat
layanan disepakati dapat berjalan dengan sendirinya.
Ilustrasi berikut
memperjelas prinsip pertama tersebut dalam operasional M-PESA (disunting dari
Mas & Ng’weno, 2009)
Ilustrasi 1: Skema Transaksi Layanan MPESA
JENIS TRANSAKSI
|
BIAYA YANG DIBAYAR NASABAH
|
KOMISI YANG DITERIMA AGEN
|
BIAYA YANG (DIBAYAR)
/ DITERIMA SAFARICOM
|
Setor Tunai (jumlah antara USD 1.33 – USD 467)
|
Gratis
|
0.133 USD
|
(0.133)
USD
|
Penarikan Tunai (jumlah antara USD 1.33 – USD 33)
|
(0.333)
USD
|
0.2 USD
|
0.333 USD
|
Transaksi “Bolak-balik” (Satu kali
penyetoran dan satu kali penarikan)
|
(0.333) USD
|
0.333 USD
|
0
|
Dari ilustrasi 1, teramati hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak adanya biaya
yang dikenakan bagi nasabah yang melakukan penyetoran (untuk mendorong perilaku
konversi uang tunai menjadi uang dalam rekening)
2. Safaricom membayar
agen untuk SELURUH transaksi, baik tarik maupun setor tunai.
3. Pengenaan biaya bagi
transaksi Penarikan Dana (untuk jumlah penarikan sebesar KSH 2.500 / USD 33
biaya yang dikenakan sekitar 1% dari jumlah, yaitu 0.33 Dollar), dimana biaya
tersebut dibagi dua bagi agen (untuk memberikan komisi atas layanan penarikan
dana nasabah) serta bagi Safaricom (untuk meng-kompensasi komisi agen untuk
penyetoran dana tunai nasabah yang telah dibayarkan oleh Safaricom “dimuka” [4])
4. Untuk transaksi “bolak-balik”
(yaitu satu set transaksi dimana nasabah melakukan penyetoran, dan kemudian
dilakukan penarikan, baik oleh nasabah maupun oleh sisi lain setelah nasabah
melakukan transaksi pengiriman uang P2P), Safaricom tidak mendapatkan sama
sekali komisi dari transaksi, jaringan keagenan menerima komisi untuk setiap
transaksi, dan nasabah penarik dana membayarkan komisi kepada Ssafaricom yang
di distribusikan balik kepada jaringan keagenan. Dalam kasus ini, Safaricom
mengharapkan memperoleh pendapatan dari komisi P2P dimana transaksi jenis
inilah yang menjadi use case utama layanan finansial tanpa cabang di Kenya.
Berdasarkan
pelaksanaan uji coba layanan Branchless Banking yang dilakukan oleh Bank
Indonesia pada tahun 2013 silam, terlihat bahwa use case utama untuk layanan perbankan tanpa cabang di Indonesia
adalah sebagai sarana penyimpanan dana, yang merupakan salah satu hal unik (use case utama dari banyak layanan
serupa di dunia adalah sebagai sarana pengiriman uang P2P). Dilain pihak,
mengingat best practice dari strategi harga layanan berdasarkan tiga prinsip
utama: (1) Tidak ada biaya yang dikenakan untuk transaksi setoran nasabah, (2)
Jaringan agen harus mendapatkan komisi untuk setiap jenis transaksi, dan (3)
Komisi transaksi bukan merupakan fee-based
bagi penyedia layanan mengingat seluruh/sebagian besar komisi yang dikenakan
kepada nasabah sebaiknya dikembalikan kepada jaringan untuk memerikan insentif
layanan yang baik dan berkesinambungan, maka adanya ketentuan yang
mengharuskan adanya suatu subsidi bagi penyetoran berpotensi menimbulkan dilema
bagi penyedia layanan yang menerapkan strategi harga dengan mengacu kepada best practice dalam ilustrasi diatas.
Sebagai
contoh, dengan menggunakan metodologi yang sama seperti ilustrasi 1, terlihat
proyeksi alur transaksi dan pemberian komisi dari satu nasabah LAKU PANDAI di
Indonesia untuk use-case penggunaan
rekening sebagai rekening tabungan adalah sebagai berikut:
Ilustrasi 2: Transaksi & Komisi Layanan LAKU PANDAI (use case menabung)
JENIS
TRANSAKSI
|
HARI TRANSAKSI
|
JUMLAH TRANSAKSI
|
BIAYA YANG DIBAYAR NASABAH
|
KOMISI YANG DITERIMA AGEN (2%)
|
BIAYA YANG (DIBAYAR)
/ DITERIMA BANK
|
SETOR #1
|
Senin
|
Rp. 50,000
|
Gratis
|
Rp. 1.000
|
Rp. (1.000)
|
SETOR #2
|
Selasa
|
Rp. 30,000
|
Gratis
|
Rp. 600
|
Rp. (600)
|
TARIK #3
|
Rabu
|
Rp. 50,000
|
Gratis
(Seharusnya dikenakan biaya
2x2%x50,000 = 2.000)
|
Rp. 1.000
|
Rp. (1.000)
|
SETOR #4
|
Kamis
|
Rp. 20,000
|
Gratis
|
Rp. 400
|
Rp. (400)
|
TARIK #5
|
Jumat
|
Rp. 50,000
|
Rp. 2.000
|
Rp. 1.000
|
Rp. 1.000
|
SETOR #6
|
Sabtu
|
Rp. 20,000
|
Gratis
|
Rp. 400
|
Rp. (400)
|
TOTAL
|
|
|
Rp. 2.000
|
Rp. 4.400
|
Rp. (2.400)
|
Dari contoh diatas terlihat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian:
1) Adanya use case menabung di masyarakat Indonesia pada prinsip nya
menjadikan insentif penyedia layanan non-bank menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan insentif yang ada di negara lain dengan use case utama pengiriman uang. Keterbatasan daerah uji coba yang
dimungkinkan pada saat uji coba Branchless
Banking 2013 yang silam tidak memungkinkan adanya pengumpulan data empiris
atas kebutuhan P2P di Indonesia.
2) Dengan
adanya use case menabung tersebut,
penyedia layanan memiliki resiko dimana skema pricing yang diterapkan dapat
berimplikasi negatif terhadap model finansial dari layanan (dimana use case
menabung meminimalkan terjadinya transaksi bolak-balik 1 kali setor 1 kali
tarik, dimana penyedia layanan memperoleh revenue dari P2P yang terjadi
diantara dua transaksi tarik setor tersebut).
3) Bagi
penyedia layanan berbentuk Bank, sebagian resiko tersebut dapat dimitigasi
dengan penawaran layanan lain terhadap nasabah seperti pembayaran tagihan,
pembelian pulsa dan lain-lain. Akan tetapi, mengingat lazimnya layanan
perbankan tidak mengenakan biaya tinggi untuk transaksi P2P (contoh transfer
via ATM antar bank dengan biaya IDR 5.000 yang keseluruhan merupakan komisi
switching), kesempatan untuk bank memposisikan layanan sebagai fee-based dengan
dasar komisi P2P menjadi sangat minim.
4) Dari
ilustrasi diatas terlihat jelas bahwa dengan rata-rata nominal transaksi yang
relatif kecil, serta dengan mengikuti prinsip bahwa setiap transaksi di agen
harus menghasilkan komisi bagi agen, maka adanya keharusan memberikan subsidi
atas transaksi berpotensi tinggi memberikan dis-insentif bagi penyedia layanan
untuk menyediakan layanan yang didesain untuk segmen yang belum terlayani
layanan perbankan (Unbanked dan Underbanked). Dalam contoh diatas, dari
seminggu transaksi yang dilakukan nasabah, Bank mengeluarkan biaya sebesar Rp.
2.400 / nasabah / minggu, yang mengharuskan bank untuk mengenakan tarif layanan
bulanan atau menaikkan biaya transaksi lainnya.
Perlu diingat bahwa satu satu keunggulan layanan perbankan
tanpa cabang adalah membawa layanan perbankan untuk lebih dekat dan terjangkau
oleh masyarakat yang belum terlayani, dimana transaksi yang terjadi melalui
jalur informal pada saat ini terjadi dengan biaya-biaya baik langsung maupun
tidak langsung yang berakibat tidak efisiennya transaksi yang terjadi di
masyarakat yang belum terlayani (Mas, 2009), sehingga adanya biaya yang
dikenakan pada transaksi tertentu merupakan konsekwensi ekonomis dari model
bisnis layanan perbankan tanpa cabang yang ada.
Sebagai pembanding, untuk segmen yang sudah menggunakan jasa
perbankan di Indonesia, penarikan sebesar Rp. 300.000 melalui ATM yang bukan
dimiliki oleh Bank nasabah lazimnya dikenakan biaya sebesar Rp. 5.000 untuk switching (yang akan menjadi Rp. 7.500
per 1 Oktober 2014). Biaya tersebut diterjemahkan menjadi berkisar di bilangan
2%-3% komisi yang dibayarkan untuk efisiensi yang diterima oleh nasabah. Untuk
nominal transaksi yang lebih kecil sebagaimana terlihat dari pelaksanaan uji
coba, maka penerapan biaya oleh penyedia layanan (sebagai penggganti efisiensi
yang diterima nasabah) telah menjadi kaidah lazim didalam industri perbankan
pada saat ini.
Sebagai masukan tambahan, untuk mendorong adanya adopsi atas
layanan perbankan tanpa cabang sebagai tahap awal dari less-cash society di
Indonesia, maka regulator perlu untuk terus mendorong pihak perbankan untuk
terus berinovasi dan menambahkan fitur-fitur yang relevan kedalam layanan LAKU
PANDAI, serta melakukan upaya edukasi finansial kepada nasabah dan calon
nasabah. Sejalan dengan bertambahkan ketersediaan agen didalam komunitas
terkecil layanan (atau yang dikenal juga dengan istilah “granularity of
service” oleh Ignacio Mas, 2009), diharapkan tingkat adopsi masyarakat atas
layanan juga meningkat sejalan dengan prinsip “network effect” yang mengurangi relevansi dari kebijakan terkait
subsidi atas layanan. Perlu juga dipahami bahwa untuk menjamin ketersediaan
jaringan agen yang cukup serta dengan layanan yang standar, terdapat
konsekwensi ekonomi dengan hubungan yang erat dengan model layanan perbankan
tanpa cabang.
3.
Aspek Sebaran Layanan Keagenan dan
hubungannya dengan adopsi awal layanan oleh masyarakat Unbanked dan Underbanked
Sebagai layanan dengan
bentuk baru bagi pengguna yang belum pernah menggunakan layanan sejenis
sebelumnya (novel services),
penerapan layanan perbankan tanpa cabang di Indonesia tentunya tidak akan
terlepas dari permasalahan awal adopsi layanan sebagaimana di diskusikan dalam
paragraf terakhir dari bagian kedua makalah ini. Hal ini sejalan dengan
pengalaman dari penerapan layanan serupa di beberapa negara lain (Ngugi dkk,
2010), yang salah satunya dapat dimitigasi melalui program pendidikan
masyarakat atas layanan keuangan formal (Cohen & Lee, 2008).
Lebih lanjut lagi,
berdasarkan kajian literatur yang penulis lakukan, salah satu faktor yang
mendorong adopsi awal secara massif dari layanan MPESA adalah kondisi sosial
tertentu yang menjadi katalis natural dari MPESA. Secara khusus, sebagaimana
dituangkan oleh kajian kasus oleh Camner, Pulver & Sjoblom (2012), tren
urbanisasi yang terjadi di Kenya diidentifikasikan sebagai salah satu pendorong
utama keberhasilan MPESA untuk menjadi alat transaksi elektronik utama oleh
masyarakat Kenya dalam melakukan transaksi sehari-hari. Merujuk kepada tren
serupa yang dialami Indonesia (Firman, 2012) yang memperlihatkan rasio penduduk
urban di Indonesia adalah sebesar 49.7%, adanya layanan yang tersedia secara
luas, baik di daerah perkotaan maupun di daerah luar kota juga akan mendorong
adopsi layanan perbankan tanpa cabang secara massif di Indonesia, yang secara
langsung juga akan berdampak langsung terhadap insentif ekonomis bagi para
penyedia layanan tersebut.
Atas dasar tersebut,
penulis bermaksud untuk memberikan masukan atas RPOJK LAKU PANDAI Pasal 6, Ayat
(2), yang saat ini berbunyi sebagai berikut: “Lokasi pihak ketiga yang
bekerjasama dengan Bank yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf c dapat berada di seluruh wilayah Indonesia, namun tidak
termasuk di ibukota proponsi, ibukota kabupaten atau kotamadya”, dimana secara
khusus terdapat pembatasan pembukaan agen layanan LAKU PANDAI di daerah
perkotaan.
Berdasarkan kajian
literature yang telah penulis sampaikan sebelumnya, adanya pembatasan tersebut
berpotensi akan mengakibatkan terputusnya jaringan nilai (value-chain) dari masyarakat migran yang berada di perkotaan kepada
komunitas-komunitas yang berada di luar perkotaan. Sebagai catatan, bukti empiris atas kebutuhan
/ use case remitensi antara
masyarakat perkotaan dengan di luar kota tidak dapat dibuktikan dalam uji coba
penerapan Branchless Banking pada 2013 silam mengingat keterbatasan wilayah uji
coba. Akan tetapi, survei Gallup (oleh Standish & Kendall) yang dilakukan
pada tahun 2013 menunjukkan data yang mendukung hipotesa akan dominasi
penggunaan jalur remitensi secara informal di negara-negara berkembang termasuk
di Indonesia.
Sebagai catatan, berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh Johnson & Morduch (2007), persentasi masyarakat
urban yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin di Indonesia adalah sebesar 18.3% (versus 26.3% di daerah
non perkotaan), dimana adanya pembatasan atas area layanan berpotensi tidak
terlayaninya kebutuhan masyarakat unbanked yang berada di daerah perkotaan akan
layanan keuangan formal yang terjangkau (baik secara ekonomis maupun secara
psiko-sosial) yang belum dapat terlayani oleh model layanan perbankan
konvensional yang ada pada saat ini. Berdasarkan figur statistik yang yang
didapat dari kajian IFC (2010), Firman (2012) dan Johnston & Morduch (2007)
tersebut di atas, implikasi atas penerapan pembatasan yang diterapkan oleh
Rancangan Peraturan OJK tersebut adalah tidak terlayaninya 7-10 juta masyarakat
miskin di perkotaan[5] yang
belum mempunyai akses terhadap layanan finansial formal.
Selanjutnya, mengacu
terhadap studi kasus penerapan MPESA (Ngugi, Pelowski, Ogembo, 2010), pengguna
awal dari layanan adalah masyarakat urban berpenghasilan (hal. 4), yang
kemudian mendorong adopsi produk tersebut oleh masyarakat non-urban yang
berpenghasilan lebih rendah. Logika dari proses adopsi tersebut adalah
berdasarkan adanya sumber keuangan yang dikonversikan secara tetap dari bentuk
fisik uang menjadi bentuk elektronik, yaitu didalam rekening MPESA, yang
kemudian digunakan sebagai wadah penyimpanan, serta alat pengiriman uang ke
daerah luar kota. Atas dasar observasi ini, maka adanya akses terhadap
titik-titik layanan di daerah perkotaan, dimana masyarakat di daerah perkotaan
mempunyai akses yang lebih luas terhadap informasi serta densitas populasi yang
lebih padat, akan mendorong adopsi awal dari layanan perbankan tanpa cabang
secara lebih efisien dan berskala tinggi.
Atas dasar kajian
literature tersebut, penulis ingin memberikan masukan untuk ditiadakannya
pembatasan atas cakupan area layanan perbankan tanpa cabang. Strategi
alternatif yang dapat diterapkan untuk meyakinkan adanya insentif bagi
pertumbuhan jaringan keagenan yang sehat di daerah yang membutuhkan (baik
perkotaan maupun non-perkotaan) adalah dengan penerapan rasio tertentu jumlah
titik layanan di daerah perkotaan dan non perkotaan yang dapat dibuka oleh
penyedia jasa sebagaimana diterapkan oleh MPESA (Mas, 2009). Perlu diingat
bahwa penyedia layanan mempunyai insentif natural untuk memaksimalkan
efektivitas dari jaringan keagenan, dimana penyedia layanan akan terdorong
secara natural untuk membuka layanan di daerah-daerah yang potensial baik di
daerah perkotaan maupun non perkotaan.
4. Kesimpulan
Adanya regulasi yang
mendukung layanan perbankan tanpa cabang telah diidentifikasikan oleh beberapa
studi-studi di beberapa negara sebagai “enabling
factor” utama yang akan mendorong terbentuknya layanan keuangan tanpa
cabang yang sehat dan terjangkau secara universal. Untuk itu, adanya inisiatif
dari OJK untuk mendorong terbentuknya layanan tersebut melalui penerapan aturan
khusus yang mengatur adanya layanan LAKU PANDAI merupakan langkah maju yang
dibutuhkan, terutama mengingat konteks perkembangan sosio ekonomi serta
teknologi yang ada di Indonesia pada saat ini.
Akan tetapi untuk
meyakinkan terbentuknya perilaku positif dari masyarakat yang dituju terkait
layanan keuangan, dalam hal ini segmen masyarakat unbanked dan Underbanked,
serta adanya insentif yang cukup bagi penyedia layanan untuk dapat
memperkenalkan layanan yang relevan bagi segment masyarakat yang disasar
tersebut, maka untuk tahap awal dari terbentuknya layanan tersebut, pihak
regulator perlu mempertimbangkan dengan seksama keseimbangan antara mengatur
aspek-aspek tertentu yang dibutuhkan vs. pengaturan atas seluruh faktor-faktor
yang terkait layanan tersebut (balancing
the need to regulate vs. the concern of over-regulating). Untuk itu,
penulis berharap bahwa makalah ini dapat berfungsi sebagai salah satu masukan
konstruktif yang dapat digunakan sebagai pertimbangan atas draft peraturan yang
saat ini sedang dipersiapkan oleh OJK.
Daftar Referensi:
Camner, G., Pulver,
C., Sjoblom, E. 2012. What Makes a Succesful Mobile Money Implementation?
Learnings from M-PESA in Kenya and Tanzania. GSMA MMU
Cohen, M., Hopkins,
D., Lee, J. 2010. Financial Education: A Bridge between Branchless Banking and
Low-Income Clients. Microfinance
Opportunities: Washington, DC. Working Paper No. 4
Dermish, A.,
Kneiding, C., Leishman, P. 2012. Branchless and Mobile Banking Solutions for
the Poor: A Survey of the Literature. Money.
Vol. 6, No. 4, pp 81-98.
Firman, T. 2012.
Urbanization and Urban Development Patterns. The Jakarta Post, 12 May 2012, http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/12/urbanization-and-urban-development-patterns.html
accessed on 28 August 2014
International Finance
Corporation. 2010. Mobile Banking in Indonesia: Assessing the Market Potential
for Mobile Technology to Extend Banking to the Unbanked and Underbanked. International Finance Corporation
Johnston, D.,
Morduch, J., 2007. The Unbanked: Evidence from Indonesia. Financial Access Initiatives: New York
Mas, I., Ng’weno, A.
2009, Three Keys to M-PESA’s success: Branding, Channel Management, and
Pricing. Bill & Melinda Gates
Foundation
Mas, I. 2009.
The Economics of Branchless Banking. Innovations.
Vol. 4, No. 2. pp 57-75.
Morawczynski, O.,
2010. Examining the Adoption, Usage and Outcomes of Mobile Money Services: The
Case of M-Pesa in Kenya. University of
Edinburg
Ngugi, B., Pelowsky,
M., Ogembo, J.G., 2010. M-Pesa: A Case Study of the Critical Adopter Role in
The Rapid Adoption of Mobile Money Banking in Kenya. Electronic Journal of Information System in Developing Countries.
Vol. 43 No. 3. Pp 1-16
Pickens, M.,
Porteous, D., Rothman S. 2009. Scenario for Branchless Banking in 2020. CGAP Focus Note. No. 57
Standish, M.,
Kendall, J. 2013. Informal Cash Transfer Dominate in Developing Countries.
Gallup. http://www.gallup.com/poll/164339/informal-cash-transfers-dominate-developing-countries.aspx?version=print
accessed on 28 August 2014
[1] Penulis adalah peneliti dan mahasiswa program doktoral
di Universitas Indonesia yang meneliti penerapan perbankan tanpa cabang di
Indonesia, serta pengamat industri perbankan. Penulis dapat dihubungi di donnyprasetya@yahoo.com atau di +62 818 104624
[2] IFC (2010), Mobile Banking in Indonesia: Assessing the
market potential for mobile technology to extend banking to the unbanked and
underbanked. Jumlah pemilik rekening sebesar 55-65 juta orang versus jumlah
penduduk indonesia yang memiliki akses terhadap layanan telekomunikasi seluluar
sebesar 145-165 juta orang
[3] Faktor-faktor kunci lain yang teridentifikasi adalah
peran dari upaya pemasaran dan pengembangan dan manajemen kanal atas jaringan
yang menggunakan kombinasi agen dan agen super untuk mempercepat skala dari
layanan dengan tetap menjaga kualitas layanan dan kontrol atas jaringan
[4] Berdasarkan pengalaman penulis dalam uji coba produk
btpn WOW! serta dari presentasi yang dilakukan oleh Bank Mandiri dalam forum
pertemuan di bulan November 2013.
[5] Perkiraan jumlah tersebut diperoleh dari jumlah
pengguna layanan selular yang belum mempunyai akses terhadap layanan bank
sebesar 65 juta orang (IFC, 2010), dikalikan rasio masyarakat Indonesia yang
tinggal di daerah perkotaan (Firman, 2012), serta dikalikan rasio masyakat
urban yang tergolong masyarakat miskin (Johnson & Morduch, 2007)